JAKARTA, KOMPAS.com - Amendemen Undang-Undang Dasar 1945 menjadi pokok pembahasan dan wacana yang menarik perhatian publik sepanjang 2019.
Tahun ini, wacana tersebut kembali ramai dibahas setelah Ketua MPR periode 2014-2019 Zulkifli Hasan menyampaikannya di acara Peringatan Hari Konstitusi di Gedung MPR, Jakarta, Minggu (18/8/2019).
Amendemen UUD 1945 mulanya hanya mengenai penerapan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai pedoman jalannya pembangunan nasional.
Sebab, MPR merasa pembangunan pasca-reformasi kehilangan arah dengan ditiadakannya GBHN akibat amendemen ketiga UUD 1945.
Amendemen UUD 1945 terbatas untuk menghidupkan kembali haluan negara merupakan salah satu rekomendasi anggota MPR periode 2009-2014. Rekomendasi tersebut diestafetkan kepada MPR periode 2019-2024.
Baca juga: 5 Hal Menarik Wacana Amendemen: Awalnya Terbatas, Isu Meluas, hingga Penolakan Jokowi
Ketua MPR Bambang Soesatyo pun menyinggung wacana amendemen tersebut pada pidato pertamanya usai dilantik.
Bambang menekankan, pilihan untuk melakukan amendemen UUD 1945 harus mengedepankan pada rasionalitas dan konsekuensi.
Selain itu, amendemen UUD 1945 juga tidak boleh merusak tatanan kehidupan bernegara yang berdasarkan Pancasila sebagai sumber hukumnya.
Rencana amendemen yang semula hanya bertujuan menghidupkan kembali haluan negara kini melebar ke isu sensitif lainnya.
Beberapa pasal dalam UUD 1945 yang diwacanakan untuk dipertimbangkan diamendemen juga ialah masa jabatan presiden serta pemilihan presiden secara langsung.
Terkait masa jabatan presiden, Sekjen Partai Nasdem Johnny G Plate mengatakan, saat ini telah muncul berbagai pendapat dari masyarakat terkait perubahan masa jabatan presiden.
Ada yang mengusulkan masa jabatan presiden menjadi delapan tahun dalam satu periode. Ada pula yang mengusulkan masa jabatan presiden menjadi empat tahun dan bisa dipilih sebanyak tiga kali.
Usul lainnya, masa jabatan presiden menjadi lima tahun dan dapat dipilih kembali sebanyak tiga kali.
"Itu harus didiskusikan. Jadi mendalaminya harus komprehensif tidak sepotong-potong," kata Plate.
Baca juga: Fraksi Nasdem: Jika Banyak Pihak Tak Setuju, Masa Jabatan Presiden Tak Perlu Dibahas
Namun, usulan penambahan masa jabatan presiden ditentang oleh Partai Gerindra.
Ketua Fraksi Partai Gerindra di MPR Ahmad Riza Patria menuturkan bahwa pihaknya tak sepakat dengan wacana perubahan masa jabatan presiden dalam UUD 1945. Menurut Riza, ketentuan yang ada saat ini sudah ideal.
Berdasarkan Pasal 7 UUD 1945, presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan.
Baca juga: Dikunjungi MPR, Ini Tanggapan Muhammadiyah, PBNU, MUI, hingga PHDI soal Amendemen UUD 1945
Dengan demikian presiden dan wakil presiden dapat menjabat paling lama 10 tahun dalam dua periode.
"Kalau masa jabatan, saya kira sudah final ya kan, dua periode. Tetap dua periode, lima tahun itu idealnya," ujar Riza di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (21/11/2019).
Riza mengakui adanya wacana yang berkembang seputar wacana amendemen UUD 1945. Awalnya, wacana amendemen yang merupakan rekomendasi MPR periode lalu hanya bertujuan untuk menghidupkan kembali GBHN.
Baca juga: Menghidupkan GBHN Dinilai Tak Harus Amendemen UUD 1945
Kemudian muncul pula wacana untuk mengubah dari sejumlah anggota terkait masa jabatan presiden.
Ada yang mengusulkan presiden bisa dipilih kembali untuk dua kali masa jabatan atau tiga periode. Ada pula wacana presiden hanya dapat menjabat satu periode selama delapan tahun.
"Yang ideal memang lima tahun, dua kali. Jadi antara kabupaten, gubernur, provinsi, caleg, semua sama itu lima tahun. sudah bagus," kata Riza.
Sementara itu, terkait metode pemilihan presiden, muncul usulan dari PBNU agar dilakukan secara tak langsung. Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj mengusulkan pemilihan presiden dilakukan oleh MPR.
Saat MPR melakukan kunjungan ke PBNU, Ketua MPR Bambang Soesatyo menyebutkan pihaknya banyak mendapat masukan terkait isu kebangsaan, salah satunya mengenai wacana pemilihan presiden dan wakil presiden secara tidak langsung.
Kepada Bambang, PBNU mengusulkan agar presiden dan wakil presiden kembali dipilih oleh MPR.
"PBNU merasa pemilihan presdien dan wakil presiden lebih bermanfaat, akan lebih baik, lebih tinggi kemaslahatannya, lebih baik dikembalikan ke MPR ketimbang langsung," kata Bambang Soesatyo usai safari politiknya di Kantor PBNU, Jakarta Pusat, Rabu (27/11/2019).
Baca juga: Kepada Pimpinan MPR, PBNU Usul Pilpres Tak Lagi Langsung
Ketua Umum PBNU Said Aqil Siraj mengatakan, usulan pemilihan presiden oleh MPR disampaikan setelah menimbang mudarat dan manfaat pilpres secara langsung.
Pertimbangan itu tidak hanya dilakukan oleh pengurus PBNU saat ini, tetapi juga para pendahulu, seperti Rais Aam PBNU almarhum Sahal Mahfudz, dan Mustofa Bisri.
"Pilpres langsung itu high cost, terutama cost sosial," ujar Said.
Baca juga: Wacana Presiden Dipilih MPR Dinilai Khianati Reformasi
Menyikapi berbagai polemik dalam wacana amendemen UUD 1945, Presiden Joko Widodo pun menolak usulan amendemen di luar upaya menghidupkan kembali GBHN.
Terkait usulan presiden dipilih MPR dan parlemen menjadi lembaga tertinggi negara, ia menegaskan akan menjadi orang yang pertama kali menolak usulan tersebut. Jokowi ingin agar presiden dan wakil presiden tetap dipilih langsung oleh rakyat.
"Karena saya adalah produk dari pilihan langsung oleh rakyat," kata Jokowi.
Ia pun tak setuju dengan usul masa jabatan presiden diperpanjang menjadi tiga periode. Ia pun merasa curiga pihak yang mengusulkan wacana itu justru ingin menjerumuskannya.
"Kalau ada yang usulkan itu, ada tiga (motif) menurut saya, ingin menampar muka saya, ingin cari muka, atau ingin menjerumuskan. Itu saja," kata Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (2/12/2019).
Baca juga: Presiden Jokowi: Pengusul Presiden 3 Periode Ingin Menampar Muka Saya
Ia pun mengatakan lebih baik tak perlu ada amendemen bila jadinya melebar seperti ini sebab memunculkan wacana yang kontraproduktif.
"Sekarang kenyataannya begitu kan, (muncul usul) presiden dipilih MPR, presiden tiga periode. Jadi lebih baik enggak usah amendemen. Kita konsentrasi saja ke tekanan eksternal yang tidak mudah diselesaikan," kata dia.
Baca juga: Muncul Usulan Presiden 3 Periode, Jokowi: Lebih Baik Tak Amendemen
Meski demikian, PDI-P selaku partai koalisi pemerintah tetap menginginkan adanya amendemen terbatas hanya pada upaya menghidupkan kembali haluan negara.
Namun fraksi-fraksi parpol di MPR masih terbelah soal kelanjutan amendemen tersebut.
Bambang mengatakan bahwa saat ini masih ada tiga partai politik yang belum sepakat dengan rencana amendemen terbatas UUD 1945 untuk menghidupkan kembali GBHN.
Menurut Bambang, ketiganya berpandangan, rencana menghidupkan kembali GBHN tidak perlu dilakukan melalui amendemen terbatas, melainkan cukup diatur dalam undang-undang yang baru.
Baca juga: Bamsoet Buka Kemungkinan KPK Diatur dalam UUD 1945 Lewat Amendemen
Bambang mengatakan, pihaknya akan melanjutkan pertemuan dengan pimpinan parpol untuk menyamakan persepsi terkait rencana amandemen terbatas UUD 1945.
Hingga kini, isu amendemen UUD 1945 sementara tenggelam dan belum menemui kejelasan kelanjutannya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.