3. Hanya imbauan
Meski batal melarang eks koruptor maju di Pilkada, dalam PKPU tentang Pencalonan, KPU memasukkan aturan baru yang pada pokoknya meminta partai politik mengutamakan calon yang bukan mantan terpidana korupsi di Pilkada 2020.
"Diutamakan dan mengutamakan. Bahwa partai politik itu mengutakan yang bukan napi koruptor," kata Evi.
Aturan tambahan tersebut dimuat dalam dua ayat, yaitu Pasal 3A ayat (3) dan ayat (4).
Pasal 3A ayat (3) berbunyi, "Dalam seleksi bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota secara demokratis dan terbuka sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengutamakan bukan mantan terpidana korupsi.
Kemudian dalam Pasal 3A ayat (4) berbunyi, "Bakal calon perseorangan yang dapat mendaftar sebagai calon Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota diutamakan bukan mantan terpidana korupsi"
Evi menjelaskan, nantinya partai politik akan diminta membuat semacam pakta integritas untuk tidak akan mencalonkan mantan napi korupsi di Pilkada.
Tetapi, jika partai tetap mencalonkan eks koruptor, tidak akan membawa dampak hukum apapun.
"Sifatnya diutamakan dan mengutamakan," ujar Evi.
Baca juga: KPU Dinilai Tak Konsisten karena Batal Larang Eks Koruptor Maju di Pilkada
4. Putusan MK
Tak lama setelah PKPU tentang Pencalonan Pilkada terbit, Mahkamah Konstitusi (MK) mengumumkan putusan uji materi dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Pemohon dalam uji materi ini adalah Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dan Indonesia Corruption Watch (ICW).
Dalam persidangan pembacaan putusan yang digelar Rabu (11/12/2019), MK memutuskan untuk menerima sebagian permohonan uji materi pasal yang mengatur tentang pencalonan mantan narapidana itu.
"Mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian," begitu kata Hakim Ketua MK Anwar Usman saat membacakan putusan UU Pilkada dalam sidang yang digelar di Gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu.
Mahkamah menyatakan, Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945. Pasal tersebut juga dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada disebutkan, salah satu syarat seseorang dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah adalah tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.
Baca juga: Putusan MK: Eks Koruptor Boleh Ikut Pilkada Setelah 5 Tahun Keluar Penjara
5. Empat perubahan
Dampak dari putusan MK, terjadi perubahan bunyi Pasal 7 ayat (2) huruf g. Setidaknya, ada empat hal yang diatur dalam pasal itu.
Pertama, seseorang yang dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah tidak pernah diancam dengan hukuman pidana penjara 5 tahun atau lebih, kecuali tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik.
Kedua, mantan narapidana dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah hanya apabila yang bersangkutan telah melewati jangka waktu 5 tahun setelah selesai menjalani pidana penjara.
Selanjutnya, seorang calon kepala daerah yang merupakan mantan narapidana harus mengumumkan latar belakang dirinya sebagai seorang mantan napi.
Terakhir, yang bersangkutan bukan merupakan pelaku kejahatan yang berulang.
Sebagai pemohon, Perludem dan ICW semula meminta MK menyatakan seorang mantan napi yang dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah adalah yang telah melewati jangka waktu 10 tahun setelah selesai menjalani pidana penjara.
Namun, MK menolak permohonan tersebut dan menetapkan jangka waktu seorang mantan napi dapat mencalonkan diri adalah 5 tahun setelah yang bersangkutan selesai menjalani pidana penjara.
Baca juga: Eks Koruptor Boleh Ikut Pilkada Usai 5 Tahun Keluar Bui, Simak Putusan MK Ini...
6. Pertimbangan MK