JAKARTA, KOMPAS.com - Baru-baru ini Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) Tjahjo Kumolo menyebutkan, seluruh pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan berstatus sebagai aparatur sipil negara (ASN) begitu pimpinan baru KPK dilantik.
"Semualah, langsung (beralih status). Masak nyicil. Enggak ada," ujar Tjahjo di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Kamis (12/12/2019).
"Menunggu ditetapkan ada proses dengan undang-undang pelantikan pimpinan baru yang sudah aturan baru," lanjut dia.
Baca juga: Tjahjo Sebut Pegawai KPK Langsung Berstatus ASN Begitu Pimpinan Baru Dilantik
Tjahjo menambahkan, nantinya kinerja dan penggajian pegawai KPK mengacu pada Undang-Undang ASN.
Meski demikian, aturan kinerja ASN di masing-masing lembaga akan disesuaikan dengan tempat kerja masing-masing.
"Kan mereka punya (aturan) masing-masing lembaga beda. Antara KPK dan Ombudsman saja beda, KPK (pegawainya) ASN, Ombudsman tidak," lanjut dia.
Posisi pegawai KPK beralih status menjadi ASN ini imbas dari adanya revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019.
Pada Pasal 1 Ayat (3) berbunyi, "Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang melaksanakan tugas pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sesuai dengan Undang-Undang ini"
Baca juga: Ada Masa Transisi, Pegawai KPK Tidak Serta Merta Jadi ASN
Kemudian, terdapat pula ketentuan pada Ayat (6) yang berbunyi, "Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi adalah aparatur sipil negara sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai aparatur sipil negara"
Ketentuan lebih lanjut diatur pada Pasal 24 yang terdiri dari tiga ayat. Salah satu ketentuannya menyatakan pegawai KPK merupakan anggota korps profesi pegawai aparatur sipil negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Meski berstatus ASN, UU KPK hasil revisi tersebut tetap menegaskan bahwa tugas dan wewenang KPK bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
Direktur Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gajah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar mengingatkan, pegawai KPK tidak bisa serta merta menyandang status ASN setelah pimpinan baru dilantik.
Baca juga: Tjahjo Sebut Pegawai KPK Jadi ASN Setelah Pimpinan Baru Dilantik, Saut: Prosesnya Sampai 2 Tahun
Menurut dia, ada masa transisi sebelum mereka dapat menyandang status tersebut.
"Enggak dong. Baca UU yang baru dan buruk itu. Di situ diatur soal transisi dua tahun," kata Zainal melalui pesan singkat kepada Kompas.com, Kamis.
Di dalam Pasal 69C dinyatakan, pegawai KPK yang belum berstatus ASN dalam jangka waktu paling lama dua tahun sejak UU berlaku, dapat diangkat sebagai ASN sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
"Jadi enggak serta merta," kata dia.
Menurut dia, baik atau buruknya dampak dari perubahan status ini tergantung dari proses transisi yang berjalan.
"Ya tergantung masa transisi dua tahun itu mau dipola kayak apa," ungkap dia.
Baca juga: Mahfud MD Ungkap Kemungkinan Kejutan di Susunan Dewan Pengawas KPK
Wakil Ketua KPK Saut Situmorang menambahkan, peralihan status pegawai KPK menjadi ASN masih dibahas bersama Kemenpan RB.
Saut menuturkan, peralihan status pegawai KPK menjadi ASN tidak dapat dilakukan dengan cepat karena harus memakan waktu selama dua tahun.
"Ya ada prosesnya, prosesnya sedang jalan, by definition kan prosesnya bertahap sampai dua tahun ya," kata Saut di Gedung Merah Putih KPK, Kamis.
Pihaknya pun belum bisa memastikan kapan peralihan status itu akan terjadi. Sebab, hal tersebut masih dalam pembahasan.
"Nanti sekjen akan membahas lebih detil, komunikasinya masih berlanjut. Ini prosesnya sudah jalan," ujar Saut.
Sejak awal proses revisi UU KPK ini berkembang, alih status pegawai KPK menjadi ASN sudah menuai kritik. Ketentuan itu berisiko mengancam independensi KPK selaku lembaga antikorupsi.
Baca juga: KPK Anggap Putusan MK Batasi Ruang Gerak Koruptor
Mantan Pimpinan KPK Mochamad Jasin menilai, ketentuan itu mengkhawatirkan.
Ia khawatir status ASN itu berisiko mengurangi gaji dan tunjangan pegawai KPK sehingga akhirnya mereka rentan terhadap godaan.
"KPK itu kan penegak hukum, jika gajinya itu tidak mencukupi, sebagaimana grading yang ada dalam ASN, itu kita rawan akan godaan," kata Jasin saat dihubungi, Kamis (19/9/2019).
Adapun, Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Feri Amsari juga pernah menyoroti posisi KPK yang kini berada di rumpun eksekutif.
"Sebagai rumpun eksekutif, maka KPK tentu bertanggung jawab kepada Presiden melalui Dewan Pengawas," ujar dia dalam keterangan tertulis, Selasa (17/9/2019).
Tak menutup kemungkinan, kata Feri, dua aspek itu membuat KPK semakin tidak independen.
Menurut Feri, pegawai KPK juga rentan dikendalikan dan disusupi kepentingan pihak tertentu jika nantinya mereka menjadi ASN.
Wakil Ketua KPK Laode M Syarif menilai, Indonesia semakin tidak patuh dengan United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) akibat UU KPK hasil revisi ini.
"Apakah Indonesia telah comply (patuh)? Menjunjung tinggi sebagai pihak yang meratifikasi UNCAC? Dengan perubahan UU KPK itu makin jauh panggang dari api," kata Laode di Gedung Pusat Edukasi Antikorupsi, Jakarta, Selasa (10/12/2019).
Baca juga: Nama Yusuf dan Randi Akan Diabadikan sebagai Nama Ruangan di Gedung ACLC KPK
Menurut Laode, Indonesia seharusnya mengikuti berbagai prinsip dan norma yang ada di dalam UNCAC.
Misalnya, UNCAC mengatur bahwa lembaga antikorupsi di suatu negara harus independen, bebas dari pengaruh manapun.
Dengan adanya UU KPK hasil revisi yang membuat KPK berada di bawah lingkup eksekutif, Laode menyebut independensi KPK berisiko terancam.
"Dulu KPK kita itu independen, sudah comply, sekarang kita ubah menjadi tidak independen. Berarti kita enggak comply lagi dengan UNCAC. KPK itu dibuat sebelum UNCAC itu dibentuk," kata Laode.
"Konvensi UNCAC itu banyak melihat salah satunya ICAC Hong Kong dan KPK waktu itu. Sehingga memang dilihat modelnya secara internasional, KPK salah satunya yang baik," ucapnya.
Oleh karena itu, lanjut Laode, pada tahun 2012 lalu sekitar 80 negara berkumpul di Jakarta dan melahirkan Jakarta Statement on Principles for Anti-Corruption Agencies.
Baca juga: Pegawai KPK Mundur Tak Mau Jadi ASN, Tjahjo: Bebas Saja, Itu Hak Mereka
Salah satunya menegaskan soal prinsip independensi lembaga antikorupsi di suatu negara.
Laode berpandangan bahwa independensi yang kuat itu merupakan kondisi yang diperlukan mengingat kejahatan korupsi bukan kejahatan biasa.
"Karena yang dilawan kejahatan korupsi itu penguasa, apakah legislatif, eksekutif bahkan yudikatif," tutur Laode.
Sejumlah lembaga antikorupsi yang tergabung dalam konvensi antikorupsi PBB itu sebelumnya juga menyoroti independensi KPK yang berisiko tergerus.
Mereka menyinggung UNCAC yang ditandatangani pada 2003 dan telah diratifikasi oleh Indonesia pada 2006.
"Pasal 6 dan 36 dari UNCAC mengharuskan setiap negara untuk memastikan keberadaan badan antikorupsi khusus dalam mencegah korupsi dan memberantas korupsi melalui penegakan hukum yang harus diberikan kemandirian yang diperlukan dan dapat melaksanakan fungsinya secara efektif dan tanpa pengaruh yang tidak semestinya," tulis Koalisi UNCAC dikutip dari situs resmi UNCAC.
Baca juga: Saut Sebut 12 Pegawai Nyatakan Mundur Sejak UU KPK Hasil Revisi Berlaku
Koalisi UNCAC melanjutkan, mereka mengakui prestasi KPK dalam hal membongkar kasus korupsi. Apalagi banyak kasus yang melibatkan pengusaha, lembaga peradilan, anggota legislatif, pejabat pemerintah, hingga tokoh politik senior.
Koalisi UNCAC juga memuji upaya pencegahan yang telah dilakukan KPK yang disebutnya telah menyelamatkan kekekayaan negara dalam jumlah besar.
Koalisi UNCAC pun menyoroti sejumlah poin dalam UU KPK hasil revisi yang dianggap bermasalah antara lain kedudukan KPK sebagai cabang lembaga eksekutif, keberadaan dewan pengawas, serta proses kilat pembuatan UU KPK.
"Kami menyerukan kepada (lembaga) eksekutif dan legislatif Indonesia untuk menegakkan 'The Jakarta Principles' pada independensi dan efektivitas lembaga antikorupsi," kata mereka.
Polres Metro Jakarta Selatan menangkap pelaku persekusi terhadap dua anggota banser yang terjadi di kawasan Jakarta Selatan. Pelaku ditangkap saat bersembunyi di Padepokan kawasan Sawangan, Depok, Jawa Barat. H-A, pelaku persekusi terhadap dua anggota banser di Jalan Ciputat Raya, Pondok Pinang, ditangkap kamis sore ditempat persembunyiannya di Padepokan, Sawangan, Depok, Jawa Barat.
Selain pelaku, penyidik menyita telepon genggam dan barang bukti lain yang digunakan saat melakukan persekusi. Menurut Kapolres Metro Jakarta Selatan, Kombes Bastomi, pelaku melakukan aksi persekusi lantaran kesal setelah bersenggolan dengan korban. pelaku meminta maaf kepada Banser NU.
Sebelumnya, seorang kader Banser (Barisan Ansor Serbaguna) Nahdlatul Ulama bernama Eko diduga mengalami persekusi di kawasan Pondok Pinang, Jakarta Selatan. Kejadian itu diungkap PBNU via akun Twitter dan Instagram @nahdlatululama, Selasa malam, 10 Desember 2019.
Tekanan terhadap kader Banser NU Eko terlihat dalam rekaman video yang diunggah @nahdlatululama lalu viral di media sosial.
Pada keterangan video di akun resmi PBNU di Instagram @nahdlatululama, dikatakan bahwa peristiwa tersebut terjadi ketika acara pengajian Gus Muwafiq di daerah Cipadu, Tangerang. Adapun lokasi peristiwa itu adalah di Pondok Pinang, Jakarta Selatan.