JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshidiqie menilai bahwa hukuman dimiskinkan atau kerja paksa bagi para koruptor akan lebih efektif diterapkan.
Menurut Jimly, alternatif lain terkait hukuman para koruptor disamping penjara atau hukuman mati dibutuhkan demi efektivitas.
Jimly menilai, hukuman yang ada saat ini, baik penjara maupun hukuman mati mengandung permasalahannya sendiri.
"Kalau mau jadi alternatif boleh saja (hukuman mati), tapi ada aliran yang anti hukuman mati. Hukuman mati itu dianggap terlalu kejam, tidak manusiawi maka alternatifnya ya penjara," kata Jimly usai berbicara di Semiloka Nasional bertajuk Refleksi Implementasi Mediasi di Indonesia, di Hotel Sultan, Jakarta Pusat, Kamis (12/12/2019).
Baca juga: Apakah Hukuman Mati Mampu Membuat Jera Koruptor?
Namun, penjara juga tak efektif karena menurut dia, hanya 30 persen saja orang yang bertobat dengan hukuman di penjara.
Oleh karena itu, kata dia, harus ada alternatif hukuman lain yang dimuat dalam undang-undang (UU).
"Kalau dengan UU, ya KUHAP, KUHP itu kan bisa diubah. Jadi misalnya (hukuman) kerja paksa atau dimiskinkan," kata dia.
"Kalau orang sudah terbukti koruptor maka seluruh harta kekayaan dia boleh dicurigai, maka dia harus membuktikan semua kekayaan yang dia punya itu sah. Kalau tidak sah, diambil alih, disita oleh negara," terang Jimly.
Baca juga: Kata Jusuf Kalla, Hukuman Seumur Hidup bagi Koruptor Sama dengan Hukuman Mati
Menurut Jimly, hal tersebut akan lebih baik menjadi alternatif hukuman daripada penjara atau hukuman mati.
Apalagi, kata dia, hukuman mati saat ini sudah tak populer lagi. Bahkan sudah ada 20 negara yang menghapus pidana mati
"Jadi lebih baik jangan itu (hukuman mati) alternatifnya, itu hanya melampiaskan kemarahan publik saja, tapi kegunaannya tidak ada," kata dia.
Jimly mengatakan, meskipun soal hukuman mati ada dalam UU Tipikor, akan tetapi hal tersebut berlaku khusus saja, yakni dalam keadaan bencana.
Baca juga: Wapres: Hukuman Mati untuk Koruptor Dibolehkan Negara dan Agama
Sementara dalam keadaan normal, kata dia, hal tersebut tidak berlaku.
Jimly menilai, sesungguhnya daripada harus dipenjara lama dan menghabiskan anggaran negara, hukuman mati merupakan pilihan terbaik.
Namun, kata dia, hukuman mati menyangkut nyawa manusia sehingga negeri ini tak boleh royal seperti di negara Cina atau Filipina.
Baca juga: PPP Minta Wacana Hukuman Mati Tak Disikapi Emosional
"Kita kan negara Pancasila tak usah mencontoh negara lain. Jangan pidana mati jadi alternatif, tapi pidana pemiskinan yang dimaksud kemiskinan adalah kalau orang itu sudah terbukti dia korupsi, maka semua kekayaan yang dia miliki harus dicurigai," kata dia.
"Saya rasa itu lebih efektif gunanya untuk negara ada. Oke masuk penjara 10 tahun, tapi anak cucunya berlimpah kekayaan, negara harus membiayai makannya di penjara, tapi kekayaan dia berlimpah itu untuk anak cucunya," kata dia.
Pernyataan Presiden Joko Widodo soal kemungkinan penerapan aturan hukuman mati untuk koruptor yang bertepatan perayaan hari antikorupsi sedunia Senin (9/12/2019) lalu bersambut pro dan kontra.
Banyak yang mengamini pernyataan presiden sebagai sikap tegas pemerintah dalam pemberantasan korupsi. Wakil Presiden Ma’ruf Amin menyatakan hukuman mati tidak dilarang dalam agama asal diterapkan dengan syarat-syarat ketat. Antara lain untuk kasus pidana tertentu dan jika sulit diatasi atau tidak ada jalan lain dalam memberikan efek jera.
Pernyataan presiden mengenai perlunya hukuman mati untuk koruptor menuai polemik luas. Selain yang mendukung banyak pula yang mempertanyakan apakah hukuman mati akan menjerakan koruptor? Dan bagaimana menjawab praktik hukuman mati yang dinilai melanggar hak asasi manusia?
Telah hadir Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid dan tenaga Ahli Utama Di Kantor Staf Presiden Ali Mochtar Ngabalin. Ada juga pakar hukum pidana sekaligus mantan hakim yang pernah menjatuhkan vonis mati Asep Iwan Iriawan.
#HukumanMati #Koruptor #PresidenJokowi