JAKARTA, KOMPAS.com – Penerapan hukuman mati bagi narapidana kasus korupsi kembali ramai dibicarakan pasca-peringataan Hari Antikorupsi Sedunia, Senin (9/12/2019).
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, ancaman hukuman mati berlaku untuk pelaku korupsi terkait bencana alam.
Selain korupsi dana bencana alam, hukuman mati juga bisa dikenakan pada kasus yang terjadi pada saat negara mengalami krisis moneter atau kepada koruptor yang berulang kali melakukan perbuatannya.
Presiden Joko Widodo juga mengatakan, aturan hukuman mati untuk koruptor bisa saja diterapkan untuk mencakup korupsi yang lebih luas, tak hanya sebatas yang sudah diatur di UU Tipikor saat ini.
Lantas, muncul perdebatan terkait efektivitas penerapan hukuman mati untuk menekan semakin tingginya angka kasus korupsi. Apakah aturan soal hukuman mati mampu membuat jera para koruptor?
“Hukuman mati tidak akan efektif untuk penjeraan, buktinya hukuman mati narkoba tidak menyurutkan pelakunya,” kata pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar kepada Kompas.com, Rabu (11/12/2019).
Baca juga: Pro Kontra Pernyataan Jokowi bahwa Koruptor Bisa Dihukum Mati...
Pernyataan Fickar ini didukung oleh hasil riset Transparency International Indonesia (TII) terkait Indeks Persepsi Korupsi (IPK).
Skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada tahun lalu hanya menunjukkan skor 38, atau naik satu poin dibandingkan tahun sebelumnya. Skor 0 menunjukkan sangat korup, sedangkan 100 bersih dari korupsi.
Penilaian IPK ini berdasarkan sembilan sumber data, yaitu World Economic Forum, International Country Risk Guide, Global Insight Country Risks Ratings, IMD World Competitiveness Yearbook dan Bertelsmann Foundation Transform Index.
Kemudian Economist Intelligence Unit Country Ratings, PERC Asia Risk Guide, Varieties of Democracy Project dan World Justice Project.
Di sisi lain, sudah ada contoh penerapan hukuman mati tidak cukup ampuh untuk memberikan efek jera, yakni eksekusi terhadap gembong narkoba.
Meski eksekusi beberapa kali sudah dilakukan, namun kenyataannya, tingkat penyalahgunaan dan peredaran narkoba dari tahun ke tahun selalu meningkat.
Merujuk data Badan Narkotika Nasional (BNN) pada 2018, prevalensi angka penyalahgunaan narkoba di kalangan pelajar di 13 ibu kota provinsi di Indonesia mencapai angka 3,2 persen atau setara dengan 2,29 juta orang.
Sementara, pada 2017, BNN mencatat angka prevalensi penyalahgunaan narkotika sebesar 1,77 persen atau setara 3.376.115 orang pada rentang usia 10-59 tahun.
Baca juga: Komnas HAM: Tak Ada Bukti Hukuman Mati Turunkan Angka Kejahatan
Hal senada disampaikan oleh Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik. Menurut dia, tidak ada korelasi antara penurunan tingkat kejahatan korupsi dengan penerapan hukuman mati.