Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

MK Beri Jeda 5 Tahun Eks Koruptor Maju Pilkada, Perludem Usulkan 2 Hal Ini

Kompas.com - 11/12/2019, 17:40 WIB
Dani Prabowo,
Krisiandi

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com – Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini mengatakan, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) harus diikuti sejumlah peraturan teknis yang diterbitkan Komisi Pemilihan Umum (KPU), sehingga proses pemilihan calon kepala daerah dapat berjalan maksimal.

Terutama, agar masyarakat bisa mengetahui informasi secara detail tentang rekam jejak kandidat kepala daerah yang akan dipilih.

MK sebelumnya mengabulkan sebagian permohonan judicial review yang diajukan Perludem. Salah satu poin putusannya yaitu eks terpidana kasus korupsi membutuhkan waktu lima tahun setelah bebas dari penjara untuk dapat mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah.

Baca juga: MK Beri Jeda 5 Tahun Eks Koruptor Maju Pilkada, Golkar: Ya Kita Ikuti

“Pengaturan teknis yang konkret ini untuk menghindarkan pemilih dari memilih figur-figur yang bermasalah hukum,” kata Titi dalam keterangan tertulis kepada Kompas.com, Rabu (11/12/2019).

Untuk itu, Perludem mengusulkan dua hal. Pertama, KPU perlu membuat aturan yang memungkinkan partai politik mengganti calon yang terjaring operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dengan alasan calon tersebut berhalangan tetap.

“Sebab, dengan ditangkap KPK maka si calon tidak bisa melakukan kewajibannya dalam kampanye sebagai bagian dari kerja pendidikan politik yang harus dilakukan calon,” kata dia.

Dengan aturan itu, ia menambahkan, calon tersebut tidak bisa lagi melakukan proses pencalonan secara permanen.

Usulan ini berkaca dari pengalaman Pilkada 2018, dimana ada sembilan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah berstatus petahana yang terkena OTT KPK.

Kesembilan calon itu berada di wilayah Sulawesi Tenggara, Lampung Tengah, Maluku Utara, Subang, Tulungagung, Jombang, Ngada dan Malang.

“Sangat disayangkan mereka tidak bisa diganti akibat PKPU yang tidak memungkinkan itu, dan akhirnya dua orang yang sedang ditahan KPK malah terpilih memenangi pilkada. Mereka adalah Ahmad Hidayat Mus (Pilgub Maluku Utara) dan Syahri Mulyo (Pilbub Tulungagung, Jawa Timur),” ujarnya.

Kedua, KPU perlu membuat terobosan pengaturan teknis dalam terkait kampanye dan proses pemungutan dan penghitungan suara, guna menerjemahkan lebih spesifik atas klausul jujur dan terbuka dengan cara calon tersebut mengakui bahwa dirinya adalah mantan napi saat dicalonkan.

Pengaturan di PKPU kampanye dapat berupa pengumuman dan pencantuman secara konsisten informasi soal rekam jejak hukum mantan napi. Mulai dari dihukum atas kasus apa, lama vonis, hingga waktu bebas murni.

Pencantuman ini dilakukan dalam setiap dokumen dari calon yang mantan napi, sehingga dapat digunakan untuk kepentingan kampanye dan juga sosialisasi pilkada.

“Selain itu di dalam ketentuan Peraturan KPU tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara di TPS juga perlu diatur tentang pengumuman soal status mantan napi (dihukum atas perbuatan apa, dihukum berapa lama, dan kapan bebas murni) di papan pengumuman masuk TPS yang memuat profil (daftar riwayat hidup) calon kepala daerah dan wakil kepala daerah,” terangnya.

Baca juga: Komisi II DPR Minta KPU Revisi PKPU Sesuai Putusan MK

Selama ini, ia menambahkan, di setiap TPS selalu diumumkan profil calon yang berkontestasi di Pilkada, namun KPU belum pernah mengatur soal pengumuman di TPS ini baik di pemilu legislatif maupun pilkada.

Sebelumnya diberitakan, MK menerima sebagian permohonan uji materi pasal pencalonan mantan narapidana sebagai kepala daerah yang termuat dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.

"Mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian," kata Hakim Ketua MK Anwar Usman saat membacakan putusan dalam sidang yang digelar di Gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu (11/12/2019).

Mahkamah menyatakan, Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945.

Pasal tersebut juga dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada disebutkan, salah satu syarat seseorang dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah adalah tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.

Oleh karena MK mengabulkan sebagian permohonan pemohon, bunyi pasal tersebut menjadi berubah. Setidaknya, ada empat hal yang diatur dalam pasal itu.

Pertama, seseorang yang dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah tidak pernah diancam dengan hukuman pidana penjara atau lebih, kecuali tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik.

Baca juga: Putusan MK: Eks Koruptor Boleh Ikut Pilkada Setelah 5 Tahun Keluar Penjara

Kedua, mantan narapidana dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah hanya apabila yang bersangkutan telah melewati jangka waktu 5 tahun setelah selesai menjalani pidana penjara.

Selanjutnya, seorang calon kepala daerah yang merupakan mantan narapidana harus mengumumkan latar belakang dirinya sebagai seorang mantan napi.

Terakhir, yang bersangkutan bukan merupakan pelaku kejahatan yang berulang.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Kubu Prabowo Siapkan Satgas untuk Cegah Pendukung Gelar Aksi Saat MK Baca Putusan Sengketa Pilpres

Kubu Prabowo Siapkan Satgas untuk Cegah Pendukung Gelar Aksi Saat MK Baca Putusan Sengketa Pilpres

Nasional
TKN Prabowo-Gibran Akan Gelar Nobar Sederhana untuk Pantau Putusan MK

TKN Prabowo-Gibran Akan Gelar Nobar Sederhana untuk Pantau Putusan MK

Nasional
Jelang Putusan Sengketa Pilpres: MK Bantah Bocoran Putusan, Dapat Karangan Bunga

Jelang Putusan Sengketa Pilpres: MK Bantah Bocoran Putusan, Dapat Karangan Bunga

Nasional
Skenario Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Sengketa Pilpres 2024

Skenario Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Sengketa Pilpres 2024

Nasional
Kejagung Terus Telusuri Aset Mewah Harvey Moeis, Jet Pribadi Kini dalam Bidikan

Kejagung Terus Telusuri Aset Mewah Harvey Moeis, Jet Pribadi Kini dalam Bidikan

Nasional
Yusril Tegaskan Pencalonan Gibran Sah dan Optimistis dengan Putusan MK

Yusril Tegaskan Pencalonan Gibran Sah dan Optimistis dengan Putusan MK

Nasional
Soal Tawaran Masuk Parpol, Sudirman Said: Belum Ada karena Saya Bukan Anak Presiden

Soal Tawaran Masuk Parpol, Sudirman Said: Belum Ada karena Saya Bukan Anak Presiden

Nasional
Sudirman Said Beberkan Alasan Tokoh Pengusung Anies Tak Ajukan 'Amicus Curiae' seperti Megawati

Sudirman Said Beberkan Alasan Tokoh Pengusung Anies Tak Ajukan "Amicus Curiae" seperti Megawati

Nasional
Soal Peluang Anies Maju Pilkada DKI, Sudirman Said: Prabowo Kalah 'Nyapres' Tidak Jadi Gubernur Jabar

Soal Peluang Anies Maju Pilkada DKI, Sudirman Said: Prabowo Kalah "Nyapres" Tidak Jadi Gubernur Jabar

Nasional
Beda Sikap PSI: Dulu Tolak Proporsional Tertutup, Kini Harap Berlaku di Pemilu 2029

Beda Sikap PSI: Dulu Tolak Proporsional Tertutup, Kini Harap Berlaku di Pemilu 2029

Nasional
Banjir “Amicus Curiae”, Akankah Lahir “Pahlawan” Pengadilan?

Banjir “Amicus Curiae”, Akankah Lahir “Pahlawan” Pengadilan?

Nasional
Tanggal 22 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 22 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
TNI Tembak 2 Anggota OPM yang Serang Pos Prajurit di Paro Nduga, tapi Berhasil Melarikan Diri

TNI Tembak 2 Anggota OPM yang Serang Pos Prajurit di Paro Nduga, tapi Berhasil Melarikan Diri

Nasional
Sebut Jaksa TI Tak Punya Mercy, KPK: Foto di Rumah Tetangga

Sebut Jaksa TI Tak Punya Mercy, KPK: Foto di Rumah Tetangga

Nasional
Kasus Korupsi Timah, Kejagung Dalami Kepemilikan Jet Pribadi Harvey Moeis

Kasus Korupsi Timah, Kejagung Dalami Kepemilikan Jet Pribadi Harvey Moeis

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com