JAKARTA, KOMPAS.com - Partai Golkar memastikan akan mengikuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menetapkan eks narapidana kasus korupsi baru bisa mencalonkan diri pada Pilkada setelah lima tahun.
"Kalau sudah putusan MK ya kita sesuaikan dengan aturan yang berlaku," kata Sekretaris Jenderal Partai Golkar Lodewijk F Paulus di Gedung Merah Putih KPK, Rabu (11/12/2019)
Lodewijk mengklaim, partainya telah berkomitmen tidak akan memajukan orang-orang yang sempat menjadi narapidana kasus korupsi sebagai calon anggota legislatif maupun calon kepala daerah.
Baca juga: Perludem: Putusan MK Batasi Eks Koruptor di Pilkada Jadi Kado Hari Antikorupsi
Ia mengatakan, ketentuan itu masuk dalam Gerakan Golkar Bersih yang dicanangkan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto.
"Sepuluh program prioritias Ketua Umum Partai Golkar periode 2019-2024 adalah Golkar bersih. Artinya gerakan Golkar bersih mencakup seluruh kader-kader yang nantinya juha akan ikut dalam persaingan atau kompetisi pada Pilkada 2020 nanti," kata Lodewijk.
Diberitakan, MK menerima sebagian permohonan uji materi pasal pencalonan mantan narapidana sebagai kepala daerah yang termuat dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
"Mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian," kata Hakim Ketua MK Anwar Usman saat membacakan putusan dalam sidang yang digelar di Gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu (11/12/2019).
Baca juga: Putusan MK: Eks Koruptor Boleh Ikut Pilkada Setelah 5 Tahun Keluar Penjara
Mahkamah menyatakan, Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945. Pasal tersebut juga dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada disebutkan, salah satu syarat seseorang dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah adalah tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.
Oleh karena MK mengabulkan sebagian permohonan pemohon, bunyi pasal tersebut menjadi berubah. Setidaknya, ada empat hal yang diatur dalam pasal itu.
Baca juga: MK Beri Jeda 5 Tahun bagi Eks Koruptor Maju Pilkada, ICW: Ini Putusan Penting
Pertama, seseorang yang dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah tidak pernah diancam dengan hukuman pidana 5 tahun penjara atau lebih, kecuali tindak pidana kealfaan dan tindak pidana politik.
Kedua, mantan narapidana dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah hanya apabila yang bersangkutan telah melewati jangka waktu 5 tahun setelah selesai menjalani pidana penjara.
Selanjutnya, seorang calon kepala daerah yang merupakan mantan narapidana harus mengumumkan latar belakang dirinya sebagai seorang mantan napi.
Terakhir, yang bersangkutan bukan merupakan pelaku kejahatan yang berulang.
Tidak adanya larangan mantan napi korupsi untuk maju di Pilkada 2020 dalam peraturan kpu yang baru disahkan menimbulkan polemik. Kpk pun mengkritisi langkah KPU tersebut. Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mempertanyakan komitmen partai politik jika kembali mencalonkan narapidana korupsi untuk Pilkada.
Sementara itu Komisioner Komisi Pemilihan Umum Ilham Saputra menyatakan dengan diperbolehkannya mantan napi korupsi mengikuti pilkada tidak akan menyurutkan semangat anti-korupsi di tubuh KPU. Meski KPU batal melarang eks koruptor maju pada Pilkada 2020 salah satu partai pengusung capres pada Pilpres 2019 Gerindra berjanji tak akan mengajukan kader mantan napi korupsi.
Pada Senin, 9 Desember Komisi II DPR juga menilai PKPU nomor 18 tahun 2019 tentang pencalonan kepala daerah merupakan jalan tengah. Meski tak dilarang untuk mengikuti pilkada rekam jejak para calon kepala daerah mestinya dapat lebih transparan agar pemilih mengetahui latar belakang bakal calon kepala daerah nantinya.
Diperbolehkannya mantan napi korupsi mengikuti pilkada tahun depan menjadi polemik. Apakah kader partai akan memilih dan memilah anggotanya yang mencalonkan diri? Dan apakah langkah KPU ini tepat dengan dalih sesuai aturan Kemenkumham? Kami akan membahasnya bersama peneliti Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi Fadli Ramadhanil. Juga ada anggota Komisi II DPR Fraksi Golkar Zulfikar Arse Sadikin.
#Koruptor #Pilkada #KPU
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.