JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarief menilai citra Indonesia berisiko tercoreng di mata internasional dengan adanya UU KPK yang baru.
Sebab, kata Laode, substansi UU KPK Nomor 19 Tahun 2019 itu justru bertentangan dengan substansi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) yang juga diratifikasi Indonesia.
"Memang tidak ada sanksi internasionalnya. Tetapi kita dianggap negara yang tidak comply (patuh). Nanti dalam review jelek hasilnya. Kita dianggap negara yang tidak comply atau negara yang tidak patuh," kata Laode di Gedung Pusat Edukasi Antikorupsi, Jakarta, Selasa (10/12/2019).
Baca juga: ICW Sebut Dampak UU KPK Baru Sudah Terasa di Hari Antikorupsi Sedunia
Laode menyayangkan substansi dalam UU KPK hasil revisi membuat Indonesia semakin jauh dari ketentuan UNCAC.
Menurut Laode, Indonesia seharusnya mengikuti berbagai prinsip dan norma yang ada di dalam UNCAC.
Misalnya, UNCAC mengatur bahwa lembaga antikorupsi di suatu negara harus independen, bebas dari pengaruh manapun.
Dengan adanya UU KPK hasil revisi yang membuat KPK berada di bawah lingkup eksekutif, Laode menyebut independensi KPK berisiko terancam.
"Dulu KPK kita itu independen, sudah comply, sekarang kita ubah menjadi tidak independen. Berarti kita enggak comply lagi dengan UNCAC. KPK itu dibuat sebelum UNCAC itu dibentuk," kata Laode.
"Konvensi UNCAC itu banyak melihat salah satunya ICAC Hong Kong dan KPK waktu itu. Sehingga memang dilihat modelnya secara internasional, KPK salah satunya yang baik," ucapnya.
Oleh karena itu, lanjut Laode, pada tahun 2012 lalu sekitar 80 negara berkumpul di Jakarta dan melahirkan Jakarta Statement on Principles for Anti-Corruption Agencies.
Laode menegaskan bahwa UNCAC mengamanatkan lembaga antikorupsi di suatu negara selayaknya bersifat permanen.
Laode berpandangan kondisi semacam itu diperlukan mengingat kejahatan korupsi bukan kejahatan biasa.
"Karena yang dilawan kejahatan korupsi itu penguasa, apakah legislatif, eksekutif bahkan yudikatif," tutur Laode.
Baca juga: Akibat Revisi UU KPK, Indonesia Dinilai Tak Patuh dengan Konvensi Antikorupsi PBB
Menurut Laode, seharusnya pemerintah dan DPR merevisi Undang-undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) demi mengikuti dinamika kejahatan korupsi. Sebab, masih ada kejahatan korupsi lainnya yang belum diatur dalam UU Tipikor.
Revisi UU Tipikor, lanjut Laode, justru lebih bisa menjadi bentuk komitmen negara dalam pemberantasan korupsi.
"Seperti memperkaya diri sendiri dengan ilegal, illicit enrichment belum masuk, memperdagangkan pengaruh atau trading influences belum masuk. Asset recovery, pengembalian aset itu belum ada bahkan sudah masuk Prolegnas tidak diselesaikan di DPR, dan menyoal pejabat publik asing juga belum masuk," kata dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.