JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang menilai wacana hukuman mati ke koruptor merupakan cerita lama yang kerap diungkit.
Saut menegaskan, seharusnya wacana itu tak perlu dikembangkan lagi. Ia menyatakan masih banyak pekerjaan rumah yang lebih substansial untuk diselesaikan dalam pemberantasan korupsi.
Hal itu menanggapi pernyataan Presiden Joko Widodo yang menyebutkan aturan hukuman mati untuk koruptor bisa saja diterapkan jika memang ada kehendak yang kuat dari masyarakat.
"Ya sebenarnya itu kan cerita lama. Itu kan juga sudah ada di Pasal 2 (dalam Undang-undang Tindak Pidana Korupsi)," kata Saut di Gedung Pusat Edukasi Antikorupsi, Jakarta, Selasa (10/12/2019).
Baca juga: Anggota Komisi III Nilai Hukuman Mati Koruptor Tak Beri Efek Jera
Dalam UU Tipikor, Pasal 2 terdiri dari dua ayat. Ayat (1) berbunyi sebagai berikut:
"Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)"
Kemudian, Ayat (2) berbunyi sebagai berikut:
"Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan"
Baca juga: Soal Hukuman Mati untuk Koruptor, Ini Kata Jaksa Agung ST Burhanuddin
Saut memandang kedua ayat dalam Pasal 2 itu saling berkaitan dan tidak bisa dipisahkan.
"Pasal 2 itu dengan keadaan tertentu, kerugian keuangan negara yang sedang chaos dan itu (pidana mati) bisa dilakukan jika memang terjadi pengulangan (korupsi yang menimbulkan kerugian negara). Saya sebenarnya enggak terlalu tertarik bahas itu (wacana hukuman mati)," kata Saut.
Saut memandang seharusnya Indonesia fokus memperkuat penindakan dan pencegahan korupsi.
Khususnya melalui revisi UU Tipikor guna mengikuti dinamika kejahatan korupsi yang terus berkembang seiring zaman.
Baca juga: Sikap Jokowi Dinilai Kontradiktif soal Grasi dan Hukuman Mati bagi Koruptor
"UU Tipikornya diganti ke yang lebih baik. Kalau anda bicara soal korupsi itu bukan soal besar kecil, bukan soal bunuh membunuh, bukan soal hukuman mati aja, enggak. Bagaimana kita bisa membawa setiap orang yang bertanggung jawab besar atau kecil ke depan pengadilan," tegas Saut.
"Makanya saya bilang jangan terlalu main di retorika-retorika semacam itulah. Mainlah yang membuat Indonesia lebih suistainable berubah secara substansi," lanjut dia.
Misalnya, kata Saut, Indonesia harus memperkuat program pencegahan korupsi ke para pelajar dan guru dengan memerhatikan hal-hal kecil yang menimbulkan bibit korupsi.