JAKARTA, KOMPAS.com - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) membuat peraturan presiden (perpres) mengenai human rights defender atau perlindungan pejuang lingkungan.
"Perpres itu nantinya ada pasalnya juga tentang pejuang lingkungan atau aktivis lingkungan," ujar Kepala Desk Politik Walhi Khalisa Khalid di Kantor Walhi, Jakarta, Selasa (10/12/2019).
Khalisa mengatakan, peraturan tersebut sangat mendesak seiring semakin menyusutnya ruang demokrasi.
Baca juga: Walhi: 40 Lembaga Pembiayaan Menyumbang Rusaknya Lingkungan di Jawa
Indikator semakin menyempitnya ruang demokrasi dapat terlihat dari banyaknya data pejuang lingkungan yang diduga mengalami kriminalisasi.
Berdasarkan data Walhi, sebanyak 146 kasus kriminalisasi terjadi pada rentang waktu 2014 hingga 2015.
Namun demikian, kata Khalisa, fenomena kriminalisasi kontras dengan pengakuan pemerintah. Bahwa, pemerintah mengaku tidak bisa berjalan sendiri terhadap perlindungan lingkungan.
"Undang- undang nomor 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolan lingkungan hidup sudah jelas. Tetapi partisipasi masyarakat justru dihadapkan dengan kriminalisasi dan kekerasan," kata dia.
Khalisa menuturkan, semakin menurunnya kualitas demokrasi juga akan mengancam keberlanjutan lingkungan hidup di Indonesia.
Pasalnya, orang kini takut untuk menyuarakan pendapatnya karena ancaman kriminalisasi.
"Kalau yang sekarang ya contohnya bendera terbalik lah, pakai pasal komunisme lah yang dihidupkan lagi, undang-undang ITE yang di alami Walhi NTT," terang dia.
"Selain kriminalisasi, ada juga yang beraibat kematian yang dialami oleh aktivia Nah ini bukan saja menjadi fenomena di Indonesia, namun fenomena global. Jadi perjuangan lingkungan hidup ini sebenarnya untuk kebaikan bersama," jelas dia.
Sebelumnya, Walhi mencatat terdapat 146 kasus kriminalisasi yang menyasar pejuang lingkungan hidup di Jawa sejak 2014-2019.
"Adapun kriminalisasi terjadi di lima wilayah. Antara lain Jakarta 4 kasus, Jawa Barat 5 kasus, Jogjakarta 19 kasus, Jawa Tengah 15 kasus, dan Jawa Timur 103 kasus," ujar Manager Tata Ruang dan GIS Walhi Achmad Rozani di Kantor Walhi, Jakarta, Selasa (10/12/2019).
Baca juga: Walhi: Terjadi 146 Dugaan Kriminalisasi Sepanjang 2014-2019
Rozani mengatakan kasus kriminalisasi bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Perlindungan dan Pengolahan Lingkungan Hidup (PPLH) Pasal 66.
Isinya adalah setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.
Namun, kata Rozani, fakta yang terjadi, bukan saja para pejuang lingkungan mengalami kriminalisasi. Melainkan juga dihadapi tindak kekerasan.
"Dalam banyak kasus, pola kekerasan yang dialami rakyat tidak banyak berbeda ketika berhadapan dengan swasta atau pun negara, di mana aparatur negara terlibat, baik secara langsung atau pun tidak," katanya.
Rozani mengungkapkan, berdasarkan data tipologi kasus, industri ekstraktif masih menjadi sektor yang menyumbang konflik paling tinggi.
Di mana sektor tambang mencapai 52 persen. Kemudian infrastruktur 13 persen, industri pariwisata dan properti 13 persen, kehutanan 13 persen, dan tata ruang 5 persen.
Sedangkam, dari pelaku pelanggar HAM terhadap pejuang lingkungan hidup, instansi kepolisian mendapat "raport merah" paling tinggi.
"Dari sisi pelanggaran HAM, kepolisian mencapai 19 kasus, preman 11 kasus, pemerintah 3 kasus, dan TNI 1 kasus," terang Rozani.
Rozani mengaku heran lantaran proyek yang merusak lingkungan masih saja beroperasi. Terlebih, pemerintah memberikan "karpet merah" melalui kebijakan yang berpotensi semakin merusak lingkungan.
Baca juga: Walhi Khawatir Omnibus Law Pangkas Instrumen Perlindungan Lingkungan
Bahkan, kata dia, pemerintah dalam beberapa pekan terakhir mendorong agar Amdal dam IMB dihapuskan.
Terlebih, pelaksanaan kebijakan perlindungan strategis seperti Kajian Lingkungam Hidup Strategis (KLHS) juga tidak maksimal.
"Berbagai perampasan ruang hidup ini, terus meluas karena selain turut difasilitasi negara, juga didukung oleh berbagai institusi keuangan-pendanaan, baik dalam negeri maupun luar negeri," tegas Rozani.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.