Namun, kata Rozani, fakta yang terjadi, bukan saja para pejuang lingkungan mengalami kriminalisasi. Melainkan juga dihadapi tindak kekerasan.
"Dalam banyak kasus, pola kekerasan yang dialami rakyat tidak banyak berbeda ketika berhadapan dengan swasta atau pun negara, di mana aparatur negara terlibat, baik secara langsung atau pun tidak," katanya.
Rozani mengungkapkan, berdasarkan data tipologi kasus, industri ekstraktif masih menjadi sektor yang menyumbang konflik paling tinggi.
Di mana sektor tambang mencapai 52 persen. Kemudian infrastruktur 13 persen, industri pariwisata dan properti 13 persen, kehutanan 13 persen, dan tata ruang 5 persen.
Sedangkam, dari pelaku pelanggar HAM terhadap pejuang lingkungan hidup, instansi kepolisian mendapat "raport merah" paling tinggi.
"Dari sisi pelanggaran HAM, kepolisian mencapai 19 kasus, preman 11 kasus, pemerintah 3 kasus, dan TNI 1 kasus," terang Rozani.
Rozani mengaku heran lantaran proyek yang merusak lingkungan masih saja beroperasi. Terlebih, pemerintah memberikan "karpet merah" melalui kebijakan yang berpotensi semakin merusak lingkungan.
Baca juga: Walhi Khawatir Omnibus Law Pangkas Instrumen Perlindungan Lingkungan
Bahkan, kata dia, pemerintah dalam beberapa pekan terakhir mendorong agar Amdal dam IMB dihapuskan.
Terlebih, pelaksanaan kebijakan perlindungan strategis seperti Kajian Lingkungam Hidup Strategis (KLHS) juga tidak maksimal.
"Berbagai perampasan ruang hidup ini, terus meluas karena selain turut difasilitasi negara, juga didukung oleh berbagai institusi keuangan-pendanaan, baik dalam negeri maupun luar negeri," tegas Rozani.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.