Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Akibat Revisi UU KPK, Indonesia Dinilai Tak Patuh dengan Konvensi Antikorupsi PBB

Kompas.com - 10/12/2019, 15:04 WIB
Dylan Aprialdo Rachman,
Kristian Erdianto

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarif menilai Indonesia semakin tidak patuh dengan United Nations Convention Against Corruption (UNCAC).

Salah satunya, disebabkan dengan adanya Undang-undang KPK hasil revisi, yakni Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 yang mengubah Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002.

"Apakah Indonesia telah comply (patuh)? Menjunjung tinggi sebagai pihak yang meratifikasi UNCAC? Dengan perubahan UU KPK itu makin jauh panggang dari api," kata Laode di Gedung Pusat Edukasi Antikorupsi, Jakarta, Selasa (10/12/2019).

Baca juga: Organisasi Antikorupsi Dunia Khawatir KPK Tak Independen akibat Revisi UU KPK

Menurut Laode, Indonesia seharusnya mengikuti berbagai prinsip dan norma yang ada di dalam UNCAC.

Misalnya, UNCAC mengatur bahwa lembaga antikorupsi di suatu negara harus independen, bebas dari pengaruh manapun.

Dengan adanya UU KPK hasil revisi yang membuat KPK berada di bawah lingkup eksekutif, Laode menyebut independensi KPK berisiko terancam.

"Dulu KPK kita itu independen, sudah comply, sekarang kita ubah menjadi tidak independen. Berarti kita enggak comply lagi dengan UNCAC. KPK itu dibuat sebelum UNCAC itu dibentuk," kata Laode.

"Konvensi UNCAC itu banyak melihat salah satunya ICAC Hong Kong dan KPK waktu itu. Sehingga memang dilihat modelnya secara internasional, KPK salah satunya yang baik," ucapnya.

Baca juga: Polemik Revisi UU KPK, Mahfud MD Usul Diselesaikan Lewat Legislative Review

Oleh karena itu, lanjut Laode, pada tahun 2012 lalu sekitar 80 negara berkumpul di Jakarta dan melahirkan Jakarta Statement on Principles for Anti-Corruption Agencies.

Laode menegaskan bahwa UNCAC mengamanatkan lembaga antikorupsi di suatu negara selayaknya bersifat permanen.

"Kalau perlu dijamin dalam konstitusinya. Kita belum memenuhi dalam konstitusi, tapi dalam undang-undang sudah cukup asal dibuat jelas permanen," ujarnya.

Laode berpandangan kondisi semacam itu diperlukan mengingat kejahatan korupsi bukan kejahatan biasa.

"Karena yang dilawan kejahatan korupsi itu penguasa, apakah legislatif, eksekutif bahkan yudikatif," tutur Laode.

Baca juga: KPK Harap Pemerintah Perkuat Aturan Antikorupsi Sesuai Aturan UNCAC

Menurut Laode, seharusnya pemerintah dan DPR merevisi Undang-undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) demi mengikuti dinamika kejahatan korupsi. Sebab, masih ada kejahatan korupsi lainnya yang belum diatur dalam UU Tipikor.

"Seperti memperkaya diri sendiri dengan ilegal, illicit enrichment belum masuk, memperdagangkan pengaruh atau trading influences belum masuk. Asset recovery, pengembalian aset itu belum ada bahkan sudah masuk Prolegnas tidak diselesaikan di DPR, dan menyoal pejabat publik asing juga belum masuk," kata dia.

Baca juga: Usulan ICW soal Pejabat yang Tak Bisa Mempertanggungjawabkan Harta Kekayaannya

Revisi UU Tipikor, lanjut Laode, justru lebih bisa menjadi bentuk komitmen negara dalam pemberantasan korupsi.

"Seharusnya dibenahi itu adalah UU Tipikornya dulu, bukan UU KPK-nya. Jadi yang gatal kiri yang digaruk kanan. Tetapi itu kenyataan kita harus menghormati parlemen dan pemerintah yang telah membuat keputusan seperti itu. Dan itu jelas bertentangan dengan konvensi UNCAC," pungkasnya.

Baca juga: Aset Koruptor Seharusnya Juga Disita untuk Negara

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 27 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 27 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Wakil Ketua KPK Dinilai Punya Motif Buruk Laporkan Anggota Dewas

Wakil Ketua KPK Dinilai Punya Motif Buruk Laporkan Anggota Dewas

Nasional
Jokowi Ungkap Kematian akibat Stroke, Jantung dan Kanker di RI Capai Ratusan Ribu Kasus Per Tahun

Jokowi Ungkap Kematian akibat Stroke, Jantung dan Kanker di RI Capai Ratusan Ribu Kasus Per Tahun

Nasional
Temui Jokowi, Prabowo dan Gibran Tinggalkan Istana Setelah 2 Jam

Temui Jokowi, Prabowo dan Gibran Tinggalkan Istana Setelah 2 Jam

Nasional
AJI Nilai Sejumlah Pasal dalam Draf Revisi UU Penyiaran Ancam Kebebasan Pers

AJI Nilai Sejumlah Pasal dalam Draf Revisi UU Penyiaran Ancam Kebebasan Pers

Nasional
Ketua KPK Sebut Langkah Nurul Ghufron Laporkan Anggota Dewas Sikap Pribadi

Ketua KPK Sebut Langkah Nurul Ghufron Laporkan Anggota Dewas Sikap Pribadi

Nasional
Daftar Hari Besar Nasional dan Internasional Mei 2024

Daftar Hari Besar Nasional dan Internasional Mei 2024

Nasional
AHY Wanti-wanti Pembentukan Koalisi Jangan Hanya Besar Namun Keropos

AHY Wanti-wanti Pembentukan Koalisi Jangan Hanya Besar Namun Keropos

Nasional
Prabowo Presiden Terpilih, AHY: Kami Imbau Semua Terima Hasil, Semangat Rekonsiliasi

Prabowo Presiden Terpilih, AHY: Kami Imbau Semua Terima Hasil, Semangat Rekonsiliasi

Nasional
Prabowo: Jangan Jadi Pemimpin kalau Tak Kuat Diserang, Duduk di Rumah Nonton TV Saja

Prabowo: Jangan Jadi Pemimpin kalau Tak Kuat Diserang, Duduk di Rumah Nonton TV Saja

Nasional
Dewas Akan Sidangkan Dugaan Pelanggaran Etik Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron 2 Mei

Dewas Akan Sidangkan Dugaan Pelanggaran Etik Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron 2 Mei

Nasional
Prabowo-Gibran Tiba di Istana untuk Bertemu Jokowi

Prabowo-Gibran Tiba di Istana untuk Bertemu Jokowi

Nasional
AHY Sebut Lahan 2.086 Hektare di IKN Belum 'Clear', Masih Dihuni Warga

AHY Sebut Lahan 2.086 Hektare di IKN Belum "Clear", Masih Dihuni Warga

Nasional
Tak Persoalkan PKB Ingin Kerja Sama dengan Prabowo, PKS: Kita Enggak Jauh-jauh

Tak Persoalkan PKB Ingin Kerja Sama dengan Prabowo, PKS: Kita Enggak Jauh-jauh

Nasional
Bapanas Prediksi Harga Bawang Merah Normal 30-40 Hari ke Depan

Bapanas Prediksi Harga Bawang Merah Normal 30-40 Hari ke Depan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com