JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris mengatakan, pandangan soal pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung yang mahal merupakan persepsi keliru.
Syamsuddin menegaskan, tidak ada demokrasi yang berbiaya murah.
"Pandangan pilkada secara langsung yang mahal itu salah persepsi. Itu absurd. Karena memang tidak ada ongkos yang murah dalam sistem demokrasi," kata Syamsuddin dalam seminar bertajuk "Evaluasi Pemilu Serentak dan Tantangan Indonesia ke Depan", di Hotel Grand Sahid, Sudirman, Jakarta, Selasa (10/12/2019).
Terlebih, kata Syamsuddin, anggapan seperti itu dilontarkan oleh elite politik dan pemangku kepentingan.
Baca juga: Bawaslu: Kalau Mau Simpati Publik, Parpol Jangan Calonkan Eks Koruptor di Pilkada
Dia mengingatkan bahwa gaji wakil rakyat, pejabat negara, kepala daerah dan pemangku kepentingan lain bersumber dari pajak masyarakat.
"Sehingga tidak pantas bagi elite politik untuk membahas soal biaya mahal itu. Sebab yang membayar adalah masyarakat untuk mendapatkan hak kedaulatan rakyat, yakni memilih calon pemimpin secara langsung," tutur Syamsuddin menegaskan.
Dalam konteks ini, kata dia, masyarakat berhak memilih calon pemimpin terbaik.
Lebih lanjut, Syamsuddin mengungkapkan pandangan soal pilkada langsung mahal tidak lepas dari anggapan bahwa demokrasi hanya dilihat sebagai alat.
Dia mengingatkan, pemikiran yang demikian tidak tepat.
"Mindset ini salah ya. Mari kita lihat lagi pembukaan dalam UUD 1945 di mana ada tujuan kesejahteraan dan kedaulatan rakyat, " ujar dia.
"Jadi, demokrasi menurut konstitusi kita bukan hanya sebagai alat, melainkan untuk mencapai tujuan kedaulatan rakyat," kata Syamsuddin.
Baca juga: Waketum: Gerindra Tidak Akan Calonkan Eks Koruptor di Pilkada
Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengatakan, salah satu alasan dirinya mengusulkan evaluasi pilkada secara langsung adalah karena biaya politik yang tinggi.
Tito menyampaikan, biaya politik mahal itu mulai dari dana yang dikeluarkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Bahkan, kata dia, calon kepala daerah juga mengeluarkan biaya tinggi.
Tito mengatakan, tidak ada yang gratis dalam pilkada langsung. Ia mencontohkan, seorang calon bupati bisa mengeluarkan biaya sebesar Rp 30 miliar untuk ikut pilkada
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.