JAKARTA, KOMPAS.com - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengingatkan Presiden Joko Widodo agar berhati-hati dalam menentukan arah kebijakan pemberantasan korupsi.
ICJR berharap, hukuman yang digunakan untuk terpidana korupsi bukan hukuman yang "keras", seperti hukuman mati.
"ICJR memandang bahwa pemberantasan korupsi akan jauh lebih efektif jika memaksimalkan langkah-langkah pencegahan melalui perbaikan sistem pemerintahan dan penegakan hukum agar memiliki tingkat transparansi dan akuntabilitas yang tinggi," kata Direktur Eksekutif ICJR Anggara Suwahju melalui keterangan tertulis, Selasa (10/12/2019).
Baca juga: Jokowi Sebut Hukuman Mati bagi Koruptor Dapat Diterapkan, jika...
Pernyataan ICJR ini menanggapi Presiden Jokowi yang menyatakan bahwa tidak menutup kemungkinan penerapan hukuman mati dalam kasus korupsi, jika masyarakat memang menghendaki.
Pernyataan itu disampaikan Jokowi dalam acara peringatan Hari Antikorupsi Sedunia, Selasa (9/12/2019) kemarin.
Menurut ICJR, hukuman mati tidak akan pernah efektif menuntaskan persoalan, apalagi dalam kasus korupsi.
"Presiden sepertinya perlu berkali-kali diingatkan bahwa agenda melanggengkan budaya penal populism semacam ini merupakan penghalang terbesar dalam perumusan kebijakan rasional yang berbasis bukti atau evidence-based policy," ujar Anggara.
Anggara mengatakan, negara yang menduduki 20 peringkat tertinggi indeks persepsi korupsi seperti negara-negara di Australia dan Eropa tidak menerapkan hukuman mati pada koruptor.
Sementara negara seperti China, sekalipun telah menerapkan hukuman mati bagi koruptor, tidak mengalami peningkatan nilai yang signifikan dalam indeks persepsi korupsi. Sejak 2015 hingga 2018, nilai indeks persepsi korupsi Cina masih berkisar antara 37 hingga 41.
Nilai tersebut tidak jauh berbeda dengan nilai indeks di Indonesia yang berkisar antara 36 hingga 38 pada 2015 hingga 2018.
"Dengan demikian, data tersebut menunjukkan bahwa penggunaan hukuman mati tidak berpengaruh terhadap tren korupsi. Namun sebaliknya, tanpa menerapkan hukuman mati pun, negara-negara seperti di kawasan Australia dan Eropa tersebut terbukti dapat berhasil terbebas dari masalah korupsi," katanya.
Ia juga menyebut, penerapan hukuman mati dalam tindak pidana korupsi akan menjadi kontraproduktif, khususnya dalam konteks penindakan dengan metode ekstradisi pelaku tindak pidana korupsi yang berada di luar negeri.
Program mutual legal assistance (MLA) yang merupakan kerja sama bilateral antara Indonesia dengan negara-negara lain kemungkinan besar tidak akan dapat berjalan.
Menurut hukum yang berlaku di negera-negara Eropa, Australia, dan Argentina misalnya, permohonan ekstradisi akan ditolak apabila orang yang akan diekstradisi berpotensi diancam dengan pidana mati atau apabila negara yang menjadi tujuan ekstradisi tidak dapat menjamin bahwa pidana mati tidak akan diterapkan pada orang yang diekstradisi.
Baca juga: Pernyataan Jokowi soal Hukuman Mati untuk Koruptor Dinilai Cuma Retorika
Atas pertimbangan-pertimbangan tersebut, ICJR mendorong agar dalam upaya pemberantasan korupsi presiden lebih mengutamakan pencegahan ketimbang penggunaan hukuman keras.
"Sehingga untuk memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia, presiden perlu mendorong gebrakan-gebrakan kebijakan yang lebih menitikberatkan pada upaya pencegahan dengan mereformasi sistem pemerintahan dan penegakan hukum agar lebih transparan dan akuntabel," kata Anggara.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.