JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini tak terkejut Komisi Pemilihan Umum (KPU) batal melarang mantan napi korupsi maju di Pilkada 2020.
Menurut Titi, KPU dihadapkan pada situasi yang dilematis saat hendak memuat larangan eks koruptor maju di Pilkada dalam Peraturan KPU (PKPU) tentang Pencalonan.
"Tidak dicantumkannya pelarangan mantan napi korupsi di PKPU Pencalonan sudah bisa diprediksi. Sebab KPU berhadapan dengan ekosistem hukum dan politik yang tidak mendukung terobosan yang ingin dilakukan KPU. KPU berada dalam dilema," kata Titi saat dihubungi, Senin (9/12/2019).
Baca juga: Soal Eks Koruptor Dilarang Maju Pilkada, Komisi II: PKPU 18/2019 Jalan Tengah
Titi mengatakan sebagai penyelenggara pemilu, KPU diharuskan untuk segera mengesahkan peraturan teknis pencalonan Pilkada.
Namun, di saat bersamaan, jika KPU memaksakan pengaturan pencalonan mantan napi korupsi, muncul risiko pengesahan PKPU Pencalonan akan berlarut-larut.
Sebab, Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) akan menolak untuk mengundangkan PKPU Pencalonan dengan argumen bertentangan dengan Undang-undang dan Putusan MK.
"Kalau KPU tetap mengatur sekalipun, Kemenkumham pasti tidak bersedia mengundangkannya karena dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi," ujar Titi.
Baca juga: PKPU Pilkada 2020 Terbit, Parpol Diminta Tak Utamakan Usung Eks Koruptor
Tidak hanya itu, jika KPU nekat, PKPU Pencalonan dapat dipastikan akan segera diuji ke Mahkamah Agung (MA).
Layaknya PKPU Pencalonan Pemilu Legislatif kemarin, MA pun bakal membatalkan larangan eks koruptor maju di Pilkada.
Bahkan, menurut Titi, bukan tidak mungkin KPU akan dilaporkan oleh pihak-pihak yang tak setuju aturan tersebut ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Baca juga: KPU Ajukan Revisi PKPU, Kemendagri Ingin Pilkada 2020 Bebas Konflik
Sebab, KPU akan dianggap bertindak di luar ketentuan hukum dan membuat ketidakpastian proses pencalonan.
"Jadi dalam hal ini, KPU akan berhadapan dengan perlawanan politik dan hukum sekaligus dari para pihak yang menentang pengaturan itu," katanya.
Oleh karenanya, menurut Titi, harapan yang tersisa adalah dikabulkannya permohonan uji materi Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Baca juga: Rancangan PKPU Tak Larang Eks Koruptor Maju Pilkada, KPU Mengaku Terlewat
Permohonan yang diajukan oleh Perludem dan Indonesia Corruption Watch (ICW) itu menyoal syarat pencalonan mantan narapidana yang dimuat dalam Pasal 7 ayat (2) UU Pilkada.
"Kami berharap MK akan memberikan kejelasan dan angin segar bagi upaya kita mendapatkan calon kepala daerah yang berintegritas. Kalau tidak dengan Putusan MK, di tengah kondisi DPR yang tidak ingin mengubah UU Pilkada, maka polemik soal ini tidak akan pernah berhenti," kata Titi.
KPU resmi menerbitkan Peraturan KPU tentang Pencalonan dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020.
Berdasarkan dokumen salinan yang diterima Kompas.com, PKPU tersebut dicatat sebagai PKPU Nomor 18 tahun 2019. PKPU itu resmi ditetapkan pada 2 Desember 2019.
Baca juga: PKPU Pilkada 2020 Rampung, KPU Minta Semua Pihak Mempelajarinya
Dari sejumlah syarat pencalonan yang dimuat dalam PKPU, tidak satupun syarat yang mengatur tentang larangan mantan narapidana korupsi maju sebagai calon. Padahal, KPU sebelumnya berencana memuat larangan tersebut dalam PKPU ini.
Dalam Pasal 4 ayat (1) huruf h, yang dilarang untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah hanya mantan terpidana bandar narkoba dan mantan terpidana kejahatan seksual terhadap anak.
Meski begitu, ada aturan tambahan dalam PKPU Nomor 18 Tahun 2019 yang meminta partai politik untuk mengutamakan calon kepala daerah bukan seorang mantan terpidana korupsi. Aturan itu dimuat dalam dua ayat, yaitu Pasal 3A ayat (3) dan ayat (4).
KPK mengkritisi langkah Komisi Pemilihan Umum atau KPU yang membolehkan mantan narapidana korupsi untuk maju dalam Pilkada 2020. Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mempertanyakan komitmen partai politik jika kembali mencalonkan mantan narapidana korupsi untuk pilkada. Meski kecewa, KPK tidak bisa berbuat banyak karena bukan ranah dari KPK untuk menerbitkan peraturan pemilu.
Sebelumnya, Komisioner KPU Ilham Saputra menyatakan diperbolehkannya mantan napi korupsi mengikuti Pilkada 2020 tidak akan menyurutkan semangat anti korupsi di tubuh KPU. Diperbolehkannya mantan napi korupsi mengikuti pilkada karena KPU tidak ingin tahapan lain terganggu dengan waktu pendaftaran yang semakin mepet.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) resmi terbitkan Peraturan KPU (PKPU) mengenai pencalonan dalam Pemilihan Kepala Daerah atau Pilkada 2020. Ada yang menarik. Dari sejumlah syarat mengenai pencalonan dalam peraturan tersebut, tak satupun terdapat larangan mantan narapidana korupsi untuk menjadi calon kepala daerah. Padahal, sebelumnya KPU berencana untuk memuat larangan tersebut dalam PKPU.