JAKARTA, KOMPAS.com – Korupsi yang dilakukan kepala daerah menjadi salah satu sorotan dalam peringatan Hari Antikorupsi Sedunia tahun ini, Senin (9/12/2019).
Dilihat dari profilnya, kepala daerah lulusan sarjana (S1) menjadi kepala daerah yang terjerat kasus korupsi paling banyak versi analisa yang dilakukan Litbang Kompas.
Analisis dilakukan terhadap 139 perkara korupsi yang melibatkan 121 kepala daerah yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Data Litbang Kompas diolah dari data KPK.
Berdasarkan 117 data kepala daerah yang terjerat kasus korupsi yang bisa diolah dari total 121 kepala daerah yang dihimpun, 50 kepala daerah di antaranya atau sekitar 42,6 persen memiliki latar belakang S1.
Baca juga: Litbang Kompas: Mayoritas Kasus Korupsi Kepala Daerah Terkait Infrastruktur
Adapun, kepala daerah jebolan magister (S2) yang terjerat ada 49 orang (41,9 persen), dan 14 orang (12 persen) yang merupakan lulusan doktor (S3).
Sementara, mereka yang lulusan SMA ada 2 orang (1,7 persen, serta Akabri dan Akmil masing-masing 1 orang (0,9 persen).
Dilihat dari jenis kelaminnya, mayoritas pelaku adalah laki-laki yakni 112 orang (92,6 persen). Sementara 9 orang sisanya adalah perempuang (7,4 persen).
Adapun dilihat dari usianya, mayoritas pelaku telah berusia di atas 40 tahun (107 orang/92,2 persen). Sedangkan yang berusia di bawah 40 tahun ada 9 orang (7,8 persen).
Khusus untuk usia, data diperoleh berdasarkan 116 data kepala daerah yang bisa diolah dari total 121 data kepala daerah yang bisa dihimpun.
Baca juga: Komisioner KPK Terpilih Usul Hari Antikorupsi Sedunia Tak Diperingati Tiap Tahun
Pengajar Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Gajah Mada (UGM) Rimawan Pradiptyo mengatakan, korupsi yang dilakukan kepala daerah tak hanya berdampak pada pembangunan yang kurang optimal dan pelayanan publik yang kurang memadai.
Lebih dari itu, masyarakat juga turut menanggung beban dari dana yang telah dikorupsi penyelenggara negara, termasuk kepala daerah.
Berdasarkan data kajian FEB UGM, kerugian negara akibat korupsi dalam kurun 2001-2015 mencapai Rp 203,9 triliun. Sementara, total hukuman finansial kepada para koruptor hanya Rp 21,26 triliun atau sekitar 10 persennya.
Menurut Rimawan, selisih kerugian ini membebani masyarakat.
"Sama saja masyarakat menyubsidi koruptor selama ini," kata Rimawan seperti dikutip dari Harian Kompas, Senin (9/12/2019).