KOMPASIANA - Wacana atas perubahan sistem masa jabatan presiden lagi-lagi mendapat perhatian publik. Setelah usulan 7 tahun lama jabatan hanya satu periode, kini masa jabatan presiden diusulkan bisa 3 periode.
Atas wacana tersebut, Presiden Joko Widodo akhirnya angkat bicara soal usulan memperpanjang masa jabatan presiden menjadi tiga periode.
“Sejak awal, sudah saya sampaikan, saya ini produk dari pemilihan langsung. Sehingga, saat itu ada keinginan untuk amendemen, jawaban saya, apakah bisa amendemen dibatasi untuk urusan haluan negara, jangan melebar ke mana-mana," kata Jokowi.
Apalagi, tulis Kompasianer Thamrin Dahlan, soal Amandeman UUD 45 yang memicu perdebatan panjang, tidak terlalu bermakna dibahas di tengah kesibukan upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Selain topik tersebut, masih ada artikel menarik lainnya yang populer dalam sepekan ini, seperti saran untuk Mas Nadiem untuk membuat siswa senang membaca hingga kiat menghadapi puber kedua.
Berikut 5 artikel terpopuler di Kompasiana dalam sepekan:
1. Presiden Jokowi Memang Pantas Murka Soal Tiga Periode
Tujuan diadakannya pemilu adalah tetap ujungnya untuk kesejahteraan rakyat. Apalagi dengan adanya wacana penambahan masa jabatan presiden yang semula 2 periode menjadi 3 periode.
Menurut Kompasianer Thamrin Dahlan, sebenarnya tidak juga bisa disalahkan ide-ide tersebut asalkan didasari niat baik memperbaiki sistem pemilu.
"Perlu diteliti secara ilmiah apakah 4 kali penyelenggaraan pemilu langsung sejak tahun 2004 oleh rakyat telah menimbulkan perpecahan bangsa dengan segala korbannya," lanjutnya.
Jadi, wajar saja jika Presiden Jokowi sampai sampai mengatakan 3 hal yang menyangkut atau menyerang dirinya secara pribadi. (Baca selengkapnya)
2. Mas Menteri, Tolong Kampanyekan Membaca untuk Kesenangan
Bermula dari utas di Twitter yang dibuat Kompasianer Ade Kumalasari tentang pentingnya tangga baca untuk siswa mendapat respons yang baik dari warganet.
Kemudian, ia melengkapinya kembali dalam sebuah tulisan utuh berupa esai yang menyarankan Mas Menteri Pendidikan, Nadiem Makarim, agar turut serta dalam kampanye membaca sebagai bentuk yang menyenangkan.
"Semangat orang tua ini luar biasa ini bagus, karena ketrampilan membaca memang penting. Tapi sayangnya, kerja keras ini langsung berhenti begitu anak sudah bisa membaca," tulis Kompasianer Ade Kumalasari.
Karena seperti yang kita tahu, keterampilan yang lebih penting daripada sekadar membunyikan huruf-huruf adalah memahami apa yang dibaca.
"Di tingkat lebih tinggi lagi, pembaca bisa kritis terhadap apa yang dibacanya, dan mampu menganalisis bacaan," lanjutnya. (Baca selengkapnya)
3. Pemerintah dan Bangsa Indonesia dalam Kondisi Darurat Matematika
Berbagai kajian dan survei menunjukkan bahwa anak-anak Indonesia berada pada posisi darurat dalam bernalar matematika.
Bahkan, melalui Indonesian National Assessment Programme menunjukkan prosentase anak Indonesia buta matematika sebesar 77,13 persen.
"Sangat menyedihkan memang saat melihat ada beberapa daerah yang hanya mengalokasikan anggaran pendidikan dibawah 1% bahkan dibawah 0% sementara program prioritasnya adalah pembangunan SDM," tulis Kompasianer Indra Charismiadji.
Yang termudah, bisa dimulai dari tidak lagi membuat peserta didik takut dengan pelajaran matematika. (Baca selengkapnya)
4. Menjelajah Makam Raja Mataram Imogiri dengan Sedikit Kemistisannya
Setibanya di kompleks Pemakaman Raja Mataram, kamu akan bertemu dengan seorang pemandu wisata yang sudah berusia agak senja.
Kemudian ia akan menawarkan kepada pengunjung ingin berjalan saja dengan melewati 409 anak tangga atau naik ojek dengan tarif 10 ribu rupiah.
"Konon, kalau kita menaiki anak tangga dan bisa menghitungnya dengan tepat, maka permohonan kita akan dikabulkan. Dan saya baru tahu ini setelah pulang dari makam. Jadi alhasil kunjungan saya tiada permohonan. Hehe...," tulis Kompasianer Nana.
Dan yang membuat sedikit mistis, ketika Kompasianer Nana berada di kawasan Pemakaman Sultan Agung, tiba-tiba ia mencium bau yang kurang sedap. Ketika menutup mata, ada cahaya terang.
"Karena kaget, saya langsung membuka mata, tapi ruangan tersebut tidak seterang yang saya lihat, kembali menutup mata dan saya melihat cahaya terang kembali," lanjutnya. (Baca selegkapnya)
5. Puber Kedua, Kala "Midlife Crisis" Menghampiri
Sekitar 2 minggu lalu, Kompasianer Hennie Triana menerima curhat temannya, seorang wanita berusia 40 tahun.
Sudah lebih dari dua tahun ini, katanya, dia uring-uringan dan tidak bahagia dengan pasangannya. Sudah begitu, ia merasa hidupnya membosankan, berputar di rutinitas yang begitu-begitu saja.
Permasalahan yang temannya hadapi ini persis seperti puber kedua --walau selama ini banyak orang beranggapan bahwa midlife-crisis (krisis paruh baya) ini hanya dihadapi laki-laki saja.
Pada masa-masa seperti inilah wanita mulai merasa meski semuanya baik-baik saja, rumah tangga mereka sudah cukup lama, belasan tahun, mereka bisa dibilang tidak pernah bertengkar justru terbersit pikiran dan perasaan untuk berpisah.
"Menurut dia cintanya telah hilang, hidup berkecukupan pun tak berarti membuatnya bahagia. Lalu saya tanya lagi, apakah ia jatuh cinta pada orang lain. Dia mengiyakan," tulis Kompasianer Hennie Triana. (Baca selengkapnya)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.