JAKARTA, KOMPAS.com - Ombudsman Republik Indonesia menemukan dugaan maladministrasi dalam Deklarasi Damai Dugaan Kasus Pelanggaran HAM Berat di Dusun Talangsari Way Jepara Lampung Timur tanggal 20 Februari 2019.
Deklarasi tersebut dilakukan dilakukan oleh Tim Terpadu Penanganan Dugaan Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Berat.
"Menurut Ombudsman RI bahwa pertama, Deklarasi Damai Dugaan Kasus Pelanggaran HAM yang Berat di Dusun Talangsari Way Jepara Lampung Timur tidak sesuai dengan azas-azas umum pemerintahan yang baik," kata anggota Ombudsman RI Ahmad Suaedy dalam siaran pers, Kamis (5/12/2019).
Baca juga: Deklarasi Damai Peristiwa Talangsari Dinilai Sebagai Penyesatan Hukum
Suaedy melanjutkan, deklarasi tersebut juga tidak sesuai dengan penyelesaian pelanggaran HAM yang berat secara non yudicial sesuai Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Ia mencontohkan, pertimbangan nomor dua dalam deklarasi tersebut yang berbunyi, 'bahwa selama 30 (tiga puluh) tahun telah dilakukan pembangunan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi dan proses penanganan dalam bentuk pemenuhan hak-hak dasar korban dan keluarga korban'.
Padahal, kata Suaedy, hasil investigasi Tim Ombudsman RI menemukan fakta yang sebaliknya.
"Tim Ombudsman RI menemukan bahwa pembangunan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi dan proses penanganan dalam bentuk pemenuhan hak-hak dasar korban dan keluarga korban maupun warga masyarakat belum berjalan dengan maksimal di Dusun Talangsari lokasi terjadinya pelanggaran HAM," kata Suaedy.
Baca juga: Amnesty International Nilai Ada Kejanggalan dalam Deklarasi Damai Kasus Talangsari 1989
Atas temuan tersebut, Ombudsman meminta agar Tim Terpadu Penanganan Dugaan Pelanggaran HAM Berat memperbaiki deklarasi agar sesuai dengan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Peradilan HAM.
Kemudian, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan saat ini diminta menyiapkan regulasi sesuai persyaratan dalam Pasal 47 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dalam penyelesaian dugaan pelanggaran HAM yang berat Talangsari secara non yudisial.
Terakhir, Ombudsman meminta agar pemerintah pusat bersama Komnas HAM, LPSK, Gubernur Lampung dan Bupati Lampung Timur memberikan pelayanan publik maksimal di wilayah terjadinya pelanggaran HAM berat di Talangsari.
Baca juga: Komnas HAM Diminta Abaikan Deklarasi Damai Kasus Talangsari
Pelayanan publik itu harus bebas dari diskriminasi demi penyelesaian kasus sesuai Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Diberitakan sebelumnya, pada 20 Februari 2019, deklarasi damai dilakukan Tim Terpadu Pelanggaran HAM.
Tim itu terdiri dari Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam), Ketua DPRD Lampung Timur, Wakil Bupati Lampung Timur, Kepala Kejaksaaan Negeri Lampung Timur, Kapolres Lampung Timur, Dandim 0429 Lampung Timur.
Kemudian, ada pula KPN Sukadana Lampung Timur, Camat Labuhan Ratu, Kepala Desa Rajabasa Lama dan tokoh masyarakat Talangsari.
Namun, salah satu korban peristiwa Talangsari mengaku, tidak ada korban yang hadir dalam acara itu.
Baca juga: Korban Talangsari Tak Pernah Restui Aksi Deklarasi Damai
Koordinator sekaligus korban peristiwa Talangsari 1989, Edi Arsadad, menegaskan, tidak ada sama sekali korban yang mewakili, apalagi menyetujui adanya deklarasi damai sebagai upaya menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat tersebut.
"Deklarasi damai kemarin tidak ada sama sekali korban Talangsari yang mewakili. Kami tidak mengetahui adanya deklarasi," ujar Edi saat menyambangi kantor Komnas HAM, Jakarta, Senin (4/3/2019).
"Kita hanya tahu lewat sebuah media online bahwa ada deklarasi damai serta tidak ada berkas yang ditandatangani dari pihak terkait," lanjut dia.
Pasokan cadangan beras pemerintah rencananya diperbolehkan untuk dijual ke pasar. Namun langkah ini harus menunggu perubahan aturan dari pemerintah pusat.
Kementerian Perdagangan akan menyiapkan skema penjualan cadangan beras pemerintah di Bulog. Usulan dari Bulog ini bisa dilakukan dalam kondisi tertentu. Misalnya muncul potensi kerugian akibat menumpuknya pasokan.
Saat ini ada sekitar 20.000 ton beras yang tidak layak konsumsi karena mutunya turun. Kementerian Keuangan harus membayar ganti rugi selisih antara harga pembelian dengan CBP Afkir tersebut.
Lalu bagaimana posisi Bulog saat ini. Terutama ketika rastra hilang tetapi utang segunung harus dilunasi. Kami berdialog secara eksklusif dengan Direktur Utama Bulog Budi Waseso.
#Bulog #Beras #BudiWaseso
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.