Seperti yang dikhawatirkan, rencana untuk melakukan amendemen UUD 1945 bergulir menjadi bola liar.
Niat amendemen yang semula diniatkan terbatas untuk memberi kewenangan tambahan kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dalam menetapkan acuan arah pembangunan nasional jangka panjang, atau pada masa Orde Baru disebut Garis Besar Haluan Negara (GBHN), mulai “ditumpangi” berbagai usulan tentang wajah demokrasi negeri ini.
Rencana amendemen bagaikan membuka kotak pandora.
Saat menerima safari politik “amendemen konstitusi” pimpinan MPR, Rabu (27/11/2019) lalu, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menyampaikan usulan agar pemilihan presiden dan wakil presiden dikembalikan ke MPR.
Usulan ini sendiri sebenarnya merupakan hasil Munas PBNU 2012.
Menurut Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj, usulan ini bukan hanya hasil pertimbangan pengurus PBNU saat ini, tapi juga para pendahulu seperti Rais Aam PBNU almarhum KH Sahal Mahfudz, dan KH Mustofa Bisri.
PBNU menilai pemilihan presiden (pilpres) secara langsung lebih banyak mudharatnya, yakni high cost terutama cost sosial, dibandingkan manfaatnya.
Gayung pun bersambut dari Senayan.
Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) menyatakan akan berupaya agar usulan PBNU ini diterima oleh delapan fraksi MPR dan perwakilan DPD.
“Kalau semua fraksi menerima, berarti PKB berhasil meyakinkan apa yang menjadi rekomendasi PBNU,” kata Wakil Ketua MPR dari Fraksi PKB, Jazilul Fawaid.
Sedari awal, niat amendemen terbatas yang diinisiasi oleh PDIP memang tidak mampu diorkestrasi dengan sempurna ke seluruh fraksi yang ada di MPR.
Partai Nasdem, misalnya, muncul dengan gagasan amendemen menyeluruh yang mengkaji hal-hal lain di luar GBHN.
Penambahan masa jabatan presiden menjadi tiga periode lalu menjadi wacana yang dilontarkan Partai Nasdem.
Alasannya, untuk memberi waktu yang lebih panjang kepada presiden untuk menjalankan GBHN dan menuntaskan program kerja.
Hal ini diungkapkan oleh anggota Fraksi Partai Nasdem, Saan Mustopa.
“Makanya ada wacana kenapa kita enggak buka wacana satu periode lagi menjadi tiga periode,” ujarnya.
Belakangan, menyusul pernyataan keras Presiden Jokowi yang menolak usulan tiga periode masa jabatan presiden, politisi Partai Demokrat membantah usulan tersebut berasal dari pihaknya.
Bukan hanya ini, usulan lain yang mengutak atik masa jabatan Presiden berkembang pula di Senayan.
Ada yang mengusulkan agar satu periode jabatan presiden diperpanjang hingga tujuh sampai delapan tahun.
Ada pula yang mengusulkan agar periode kepresidenan cukup satu kali, namun masa jabatannya sepuluh tahun. Tak jelas siapa yang pertama kali mengusulkannya.
Peta politik di MPR terkait berbagai usulan amendemen sejauh ini masih belum mengkristal.
Satu dua partai memang telah terang-terangan menolak usulan mengembalikan pilpres ke MPR dan mengutak-atik masa jabatan presiden.
Sebagian lagi masih malu-malu kucing (malu-malu tapi mau) dengan alasan membuka kajian dan diskursus.
Di luar kompleks Parlemen Senayan, kelompok masyarakat sipil hanya bisa mengurut dada atas berbagai usulan dan wacana terkait amendemen yang sedang berkembang.
Alasan bahwa membuka diskusi dan diskursus atas sebuah gagasan adalah hal yang demokratis, menjadi sesuatu yang naif manakala esensi dari gagasan yang didiskusikan itu sendiri tak bisa dimungkiri akan menyeret bangsa ini menjauh dari demokrasi dan kembali ke era otoritarian Orde Baru.
Mengembalikan pilpres ke tangan elite di MPR serta memperpanjang masa jabatan presiden terang benderang merupakan langkah merebut kedaulatan rakyat, menafikan hasil reformasi, dan berpotensi memperkuat oligarki kekuasaan yang melahirkan rezim otoriter.
Untuk membunuh tikus tak harus membakar lumbung. Untuk mengatasi mudharat pilpres secara langsung tak harus membunuh demokrasi.
Lantas, pertanyaan besar yang patut disampaikan; ke arah mana sebenarnya demokrasi kita bergerak?
Pembahasan mengenai hal ini akan diangkat dalam program talkshow Satu Meja The Forum, Rabu (4/12/2019), yang disiarkan langsung di Kompas TV mulai pukul 20.00 WIB.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.