JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah dinilai masih belum memahami hak lingkungan hidup sebagai bagian dari hak azasi manusia (HAM).
Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) mengatakan, kerusakan lingkungan di Indonesia selain karena faktor pemanasan global, krisis iklim, dan bencana ekologi, juga ada ketimpangan konflik agraria dan kriminalisasi.
"Kecenderungannya dari periode pertama (Presiden Joko Widodo) hingga saat ini, memang kelihatan pemerintah belum memahami hak lingkungan hidup sebagai hak azasi manusia," ujar Direktur Eksekutif Nasional Walhi Nur Hidayati dalam diskusi bertajuk Menakar Komitmen Pemenuhan Hak atas Lingkungan Hidup dan HAM dalam Lima Tahun ke Depan di Hotel Mercure Gatot Subroto, Jakarta Selatan, Selasa (3/12/2019).
Baca juga: Walhi Minta Pemerintah Hati-hati soal Wacana Hapuskan Amdal dan IMB
Hidayati mengatakan, dalam proses-proses pembangunan yang dilakukan pemerintah selama ini, hal tersebut terabaikan.
Padahal, kata dia, lingkungan hidup yang bersih dan sehat merupakan bagian dari HAM sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 28 H UUD 1945.
"Artinya, itu ada kewajiban pemerintah untuk memenuhi hak tersebut. Mulai dari hak dasar untuk dia hidup secara layak, udara tercemar, air tak layak dipakai itu masih sering jadi persoalan masyarakat Indonesia," terang dia.
Belum lagi, kata dia, hak kehidupan lainnya dirampas dengan diberikan kepada perusahaan-perusahaan berskala besar.
Baca juga: WALHI Sebut 30 Juta Hektare Hutan di Indonesia diberikan ke Korporasi Pascareformasi
Hal tersebut, kata dia, menunjukkan bahwa hak atas lingkungan hidup adalah HAM belum diutamakan oleh pemerintah.
"Ketimpangan penguasaan sumber daya alam dan agraria begitu tinggi dan sedang dilakukan pembenahan," kata dia.
"Kalau kita lihat, dari 180 juta hektare daratan Indonesia, 81 juta hektare atau hampir 50 persen sudah diberi izin konsesi hutan, perkebunan, dan tambang," kata dia.
Kemudian, kata dia, kejadian-kejadian kerusakan lingkungan yang menimbulkan bencana ekologis juga mengancam keberadaan manusia, terutama hak hidupnya.
Dalam bencana, kata dia, masyarakat sering menjadi korban hingga kehilangan nyawa sehingga mereka kehilangan hak hidupnya.
Apalagi setiap tahun jumlah korban bencana tidak menunjukkan penurunan.
Data terakhir Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) untuk tahun 2019 saja, kata dia, sudah ada 10 juta orang yang terdampak bencana. Jumlah ini, naik dari tahun lalu yang hanya 9 juta.
"Peristiwa-peristiwa seperti ini belum dianggap sesuatu oleh pemerintah, buktinya pemerintah masih mendorong model pembangunan yang kebijakannya itu mengabaikan dan tidak menunjukkan punya konsern untuk memperbarui situasi," kata dia.