Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Suara Penolakan Presiden Dipilih MPR dan Penambahan Masa Jabatan

Kompas.com - 02/12/2019, 06:27 WIB
Haryanti Puspa Sari,
Krisiandi

Tim Redaksi

"Sekarang kalau kita kalkulasi biaya untuk memililih presiden saja kita membutuhkan Rp 24 triliun. Kalau dipilih MPR saya pikir enggak sampai segitu. Bahkan bisa kurang sampai 80 persen," kata Jazilul.

Ditolak mayoritas Parpol

Sementara itu, Wakil Ketua MPR dari Fraksi PKS Hidayat Nur Wahid mengungkapkan, peta politik seluruh fraksi di MPR terkait amendemen UUD 1945 tentang pemilihan presiden oleh MPR dan masa jabatan presiden tiga periode.

Menurut Hidayat, hampir seluruh fraksi di MPR menolak pemilihan presiden kembali dipilih MPR dan menambah masa jabtan presiden menjadi tiga periode.

"Itu mayoritas saya lihat lebih dari 6 atau 7 fraksi sikapnya begitu (menolak)," kata Hidayat di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (29/11/2019).

Baca juga: Wacana Amendemen UUD, Pimpinan MPR: Nasdem Dorong Jabatan Presiden 3 Periode, PKB Dukung PBNU

Hidayat mengungkapkan, usulan Nasdem dan PBNU tersebut perlu dikaji oleh pimpinan MPR. Saat ini, kata dia, para pimpinan MPR masih melanjutkan silaturahim kebangsaan guna menampung aspirasi amendemen UUD 1945.

Kepentingan kelompok tertentu

Sementara itu, Ahli hukum tata negara dari Institut Pemerintahan Dalam Negeri ( IPDN) Juanda berpendapat, usulan penambahan masa jabatan presiden tiga periode sarat akan kepentingan kelompok tertentu.

Usulan tersebut, menurut dia, akan mengakomodasi keinginan penambahan kekuasaan satu periode lagi, karena tak puas dengan dua periode.

"Soal wacana masa jabatan Presiden tiga periode itu argumentasinya apa? Saya melihat ada yang tendensius dari kelompok. Ini (melihat) dua periode (masa jabatan Presiden) tidak cukup lalu ingin lagi (ditambah)," ujar Juanda di bilangan Gondangdia, Jakarta Pusat, Sabtu (30/11/2019).

Baca juga: Usulan Masa Jabatan Presiden 3 Periode Dinilai untuk Kepentingan Kelompok Tertentu

Sedangkan, menurut Peneliti ICW Lalola Easter, usulan penambahan masa jabatan presiden menjadi tiga periode melalui amendemen UUD 1945 membuka jalan pemerintahan yang otoriter.

Lalola mengatakan, penolakan terhadap wacana tersebut adalah upaya untuk menyelamatkan demokrasi.

Peneliti ICW Lalola Easter usai diskusi publik di Kantor DPP PKS, Jumat (29/11/2019).KOMPAS.com/ACHMAD NASRUDIN YAHYA Peneliti ICW Lalola Easter usai diskusi publik di Kantor DPP PKS, Jumat (29/11/2019).
"Amendemen konstitusi yang sekarang bisa memuluskan lahirnya negara yang otoriter pasca-Orde Baru, dalam arti ketika kepala negara bisa diperpanjang lebih dari dua kali. Itu memastikan bahwa peluang otoriter akan terulang lagi," ujar Lola sapaannya dalam diskusi PKSMuda Talks di Kantor DPP PKS, Jumat (29/11/2019).

Lebih lanjut, Lola menilai, penambahan masa jabatan presiden itu tak hanya memicu kekuasaan otoritarianisme, tetapi sangat kontraproduktif dengan prinsip demokrasi di Indonesia.

"Jelas ini sangat kontraproduktif dengan agenda demokrasi yang selama ini sudah kita mulai dan dapat disalah gunakan," kata Lola.

Sikap Pemerintah

Sementara itu Presiden Joko Widodo melalui juru bicaranya, Fadjroel Rachman menegaskan bahwa presiden sudah seharusnya dipilih langsung oleh rakyat. 

"Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa pemilihan presiden langsung merupakan bagian dari proses memperoleh pemimpin yang berkualitas," kata Fadjroel melalui keterangan tertulis, Jumat (29/11/2019).

Baca juga: Istana: Jokowi Ingin Pilpres Tetap Pemilihan Langsung oleh Rakyat

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

DPR Setujui Perpanjangan Waktu Pembahasan RUU KIA, Puan Ungkap Alasannya

DPR Setujui Perpanjangan Waktu Pembahasan RUU KIA, Puan Ungkap Alasannya

Nasional
Arus Mudik Lebaran 2024 Diperkirakan Melonjak, Komisi V DPR Minta Kemenhub Serius Siapkan Kelaikan Angkutan Umum

Arus Mudik Lebaran 2024 Diperkirakan Melonjak, Komisi V DPR Minta Kemenhub Serius Siapkan Kelaikan Angkutan Umum

Nasional
Yakin MK Tolak Gugatan Anies dan Ganjar, TKN: Gugatannya Tidak Masuk Akal

Yakin MK Tolak Gugatan Anies dan Ganjar, TKN: Gugatannya Tidak Masuk Akal

Nasional
Kemenko Polhukam Identifikasi 1.900 Mahasiswa Jadi Korban TPPO Bermodus 'Ferienjob' di Jerman

Kemenko Polhukam Identifikasi 1.900 Mahasiswa Jadi Korban TPPO Bermodus "Ferienjob" di Jerman

Nasional
Lewat Telepon, Putra Mahkota Abu Dhabi Ucapkan Selamat ke Gibran

Lewat Telepon, Putra Mahkota Abu Dhabi Ucapkan Selamat ke Gibran

Nasional
Cerita soal Saham Freeport, Jokowi: Seperti Tak Ada yang Dukung, Malah Sebagian Mem-'bully'

Cerita soal Saham Freeport, Jokowi: Seperti Tak Ada yang Dukung, Malah Sebagian Mem-"bully"

Nasional
Akui Negosiasi Alot, Jokowi Yakin Indonesia Bisa Dapatkan 61 Persen Saham Freeport

Akui Negosiasi Alot, Jokowi Yakin Indonesia Bisa Dapatkan 61 Persen Saham Freeport

Nasional
Kubu Ganjar-Mahfud Tolak Gugatan ke MK Disebut Salah Alamat oleh KPU

Kubu Ganjar-Mahfud Tolak Gugatan ke MK Disebut Salah Alamat oleh KPU

Nasional
Jokowi Gelar Buka Puasa di Istana, 2 Menteri PDI-P Tak Tampak

Jokowi Gelar Buka Puasa di Istana, 2 Menteri PDI-P Tak Tampak

Nasional
Polisi Tangkap 5 Tersangka Pengoplos BBM Pertalite Jadi Pertamax

Polisi Tangkap 5 Tersangka Pengoplos BBM Pertalite Jadi Pertamax

Nasional
Jokowi Buka Puasa Bersama Para Menteri, Duduk Semeja dengan Prabowo-Airlangga

Jokowi Buka Puasa Bersama Para Menteri, Duduk Semeja dengan Prabowo-Airlangga

Nasional
Skandal Pungli di Rutan, Dewas KPK Minta Seleksi Pegawai Diperketat

Skandal Pungli di Rutan, Dewas KPK Minta Seleksi Pegawai Diperketat

Nasional
Saat Karutan KPK Tutup Mata soal Pungli Berujung Sanksi Etik Berat...

Saat Karutan KPK Tutup Mata soal Pungli Berujung Sanksi Etik Berat...

Nasional
Kubu Ganjar Dalilkan Suaranya Nol, Tim Prabowo: Tak Ada Buktinya

Kubu Ganjar Dalilkan Suaranya Nol, Tim Prabowo: Tak Ada Buktinya

Nasional
Di Sidang MK, Tim Hukum Prabowo-Gibran Bantah Menang karena Intervensi Jokowi

Di Sidang MK, Tim Hukum Prabowo-Gibran Bantah Menang karena Intervensi Jokowi

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com