"Sekarang kalau kita kalkulasi biaya untuk memililih presiden saja kita membutuhkan Rp 24 triliun. Kalau dipilih MPR saya pikir enggak sampai segitu. Bahkan bisa kurang sampai 80 persen," kata Jazilul.
Sementara itu, Wakil Ketua MPR dari Fraksi PKS Hidayat Nur Wahid mengungkapkan, peta politik seluruh fraksi di MPR terkait amendemen UUD 1945 tentang pemilihan presiden oleh MPR dan masa jabatan presiden tiga periode.
Menurut Hidayat, hampir seluruh fraksi di MPR menolak pemilihan presiden kembali dipilih MPR dan menambah masa jabtan presiden menjadi tiga periode.
"Itu mayoritas saya lihat lebih dari 6 atau 7 fraksi sikapnya begitu (menolak)," kata Hidayat di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (29/11/2019).
Baca juga: Wacana Amendemen UUD, Pimpinan MPR: Nasdem Dorong Jabatan Presiden 3 Periode, PKB Dukung PBNU
Hidayat mengungkapkan, usulan Nasdem dan PBNU tersebut perlu dikaji oleh pimpinan MPR. Saat ini, kata dia, para pimpinan MPR masih melanjutkan silaturahim kebangsaan guna menampung aspirasi amendemen UUD 1945.
Sementara itu, Ahli hukum tata negara dari Institut Pemerintahan Dalam Negeri ( IPDN) Juanda berpendapat, usulan penambahan masa jabatan presiden tiga periode sarat akan kepentingan kelompok tertentu.
Usulan tersebut, menurut dia, akan mengakomodasi keinginan penambahan kekuasaan satu periode lagi, karena tak puas dengan dua periode.
"Soal wacana masa jabatan Presiden tiga periode itu argumentasinya apa? Saya melihat ada yang tendensius dari kelompok. Ini (melihat) dua periode (masa jabatan Presiden) tidak cukup lalu ingin lagi (ditambah)," ujar Juanda di bilangan Gondangdia, Jakarta Pusat, Sabtu (30/11/2019).
Baca juga: Usulan Masa Jabatan Presiden 3 Periode Dinilai untuk Kepentingan Kelompok Tertentu
Sedangkan, menurut Peneliti ICW Lalola Easter, usulan penambahan masa jabatan presiden menjadi tiga periode melalui amendemen UUD 1945 membuka jalan pemerintahan yang otoriter.
Lalola mengatakan, penolakan terhadap wacana tersebut adalah upaya untuk menyelamatkan demokrasi.
Lebih lanjut, Lola menilai, penambahan masa jabatan presiden itu tak hanya memicu kekuasaan otoritarianisme, tetapi sangat kontraproduktif dengan prinsip demokrasi di Indonesia.
"Jelas ini sangat kontraproduktif dengan agenda demokrasi yang selama ini sudah kita mulai dan dapat disalah gunakan," kata Lola.
Sementara itu Presiden Joko Widodo melalui juru bicaranya, Fadjroel Rachman menegaskan bahwa presiden sudah seharusnya dipilih langsung oleh rakyat.
"Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa pemilihan presiden langsung merupakan bagian dari proses memperoleh pemimpin yang berkualitas," kata Fadjroel melalui keterangan tertulis, Jumat (29/11/2019).
Baca juga: Istana: Jokowi Ingin Pilpres Tetap Pemilihan Langsung oleh Rakyat