JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar hukum tata negara Universitas Jember Bayu Dwi Anggono mengingatkan, pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat merupakan konsesus bersama sejak awal reformasi, yaitu memperkuat sistem presidensial.
Ia menilai, wacana pemilihan presiden digelar secara tidak langsung dan dikembalikan ke MPR seperti lagu lama dan kontraproduktif bagi penguatan demokrasi.
"Lagi-lagi fokus kita selalu mengulang hal hal yang tidak sesuai dengan apa yang sudah kita sepakati di awal reformasi. Kenapa kemudian konsensus itu diutak-atik kembali lagi," kata Bayu saat dihubungi, Minggu (1/12/2019).
Ia mengingatkan, jika wacana ini dikembangkan, demokrasi di Indonesia justru akan mengalami kemunduran.
Sebab, kandidat presiden hanya sibuk memenangkan hati anggota parlemen daripada memenangkan hati rakyat.
"Artinya kekuasaan hanya berada di sekitaran itu-itu saja. Padahal dengan pemilihan langsung ini pertanggungjawabannya langsung ke rakyat, kalau kinerja enggak baik dan enggak memuaskan ya rakyat enggak memilih lagi di periode berikutnya, atau memilih partai yang mengusung presiden yang dianggap gagal," kata dia.
Baca juga: Wacana Presiden Dipilih MPR Dianggap Lagu Lama
"Dan traumatik 32 tahun itu (era Orde Baru) masih membekas di kita. Bagaimana kemudian demokrasi, perputaran kekuasaan hanya di elite saja," sambung Bayu.
Ia menyarankan elite politik tak perlu lagi mengembangkan wacana seperti itu. Elite politik yang terpilih lewat Pemilu 2019 disarankannya fokus bekerja demi membuktikan janji-janji kampanye ke rakyat.
"Bukan malah bahas wacana utak-atik sistem pemilihan. Kan pemilu baru berjalan, pemerintahan baru terbentuk, semua harusnya fokus bekerja. Bukan kita sibuk utak-atik sistem pemilihan. Justru harusnya hal yang dianggap belum memperkuat itu yang dievaluasi, soal sistem pemilunya, bukan konsesusnya yang kita ubah," ujar Bayu.
Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Jember ini menganggap elite politik seperti gagal memahami prioritas mereka jika sibuk mengembangkan wacana tersebut.
"Harusnya dia tidak lagi bicara wacana seperti ini lagi. Intinya bekerja saja. Rakyat menunggu mereka bekerja," tuturnya.
Sebelumnya, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengusulkan supaya pemilihan presiden digelar secara tidak langsung dan dikembalikan ke MPR.
Baca juga: Wacana Presiden Dipilih MPR Dinilai Bertentangan dengan Konsep Presidensial
Hal ini disampaikan PBNU ke Ketua MPR Bambang Soesatyo, ketika petinggi parlemen itu melakukan safari politik, Rabu (27/11/2019). Saat berkunjung, Bambang menyatakan menampung masukan tersebut.
"Kami juga hari ini mendapat masukan dari PBNU, berdasarkan hasil Munas PBNU sendiri di September 2012 di Cirebon yang intinya adalah, mengusulkan, PBNU merasa pemilihan presdien dan wakil presiden lebih bermanfaat, akan lebih baik, lebih tinggi kemaslahatannya, lebih baik dikembalikan ke MPR ketimbang langsung," kata Bambang Soesatyo usai safari politiknya di Kantor PBNU, Jakarta Pusat.
Sementara itu, Ketua Umum PBNU Said Aqil Siraj mengatakan, usulan pemilihan presiden oleh MPR disampaikan setelah menimbang mudarat dan manfaat Pilpres secara langsung.
Pertimbangan itu tidak hanya dilakukan oleh pengurus PBNU saat ini, tetapi juga para pendahulu, seperti Rais Aam PBNU almarhum Sahal Mahfudz dan Mustofa Bisri.
Mereka menimbang, pemilihan presiden secara langsung lebih banyak mudaratnya ketimbang manfaatnya.
"Pilpres langsung itu high cost, terutama cost sosial," ujar Said.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.