JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi IX DPR mendorong Kementerian Kesehatan mengevaluasi keberadaan Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan secara menyeluruh.
Menurut anggota Komisi IX Anwar Hafid, tindakan dokter yang disinyalir menjadi salah satu penyebab membengkaknya tagihan BPJS Kesehatan, merupakan satu dari sekian banyak masalah yang terjadi di dalamnya.
"(Tindakan dokter) itu hanya sebagian kecil. Salah satu, banyak persoalan sebetulnya, sehingga kita perlu melakukan kajian bersama. Semua, pemerintah dengan pihak yang terkait dengan BPJS," kata Anwar dalam sebuah diskusi di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (1/12/2019).
Anwar mengatakan bahwa BPJS Kesehatan memang menjadi salah satu solusi dalam pemberian layanan kesehatan kepada masyarakat.
Namun dalam praktiknya, pemerintah sebenarnya belum maksimal dalam memberikan pelayanan tersebut.
Hal itu diketahui dari alokasi anggaran kesehatan yang masih terlalu kecil bila dibandingkan dengan anggaran pendidikan.
Sesuai amanat undang-undang, kjata Anwar, alokasi dana pendidikan di dalam APBN sebesar 20 persen. Sedangkan sekotor kesehatan hanya 5 persen.
Baca juga: Jokowi Sebut BPJS Kesehatan Harus Mampu Kendalikan Defisit
Padahal, di dalam komitmen Sustainable Develoment Goals (SDG's) yang disepakati Indonesia, kesehatan termasuk ke dalam salah satu dari skala prioritas pembangunan yang dilakukan pemerintah.
Sementara itu, terkait persoalan defisit anggaran BPJS Kesehatan, menurut politikus Partai Demokrat ini, yang menjadi persoalan yaitu mengenai data peserta yang terlindungi layanan ini.
"Misalnya, banyak orang yang masuk di dalam kepesertaan BPJS ini karena terpaksa, yaitu karena UU dan karena (harus) berobat. (Mereka) tidak ada jaminan lain dan mereka tidak mampu," kata dia.
Masalah yang mereka hadapi tidak berhenti sampai di sana.
Sistem pendataan peserta didasarkan pada kartu keluarga, di mana setiap anggota di dalam KK tersebut harus menjadi peserta BPJS Kesehatan.
Baca juga: Menkes Sebut Dokter Penyebab Tunggakan BPJS, Ini Tanggapan IDI...
Menurut dia, banyak masyarakat Indonesia yang bekerja di sektor informal dan tergolong tidak mampu.
Masalah pendataan ini menjadi krusial, mana kala jumlah anggota keluarga di dalam KK tersebut cukup banyak.
"Misalnya saya di dalam satu keluarga itu ada tujuh orang. Saya mungkin bisa bayar di bulan pertama, tapi tidak mungkin sanggup membayar di bulan berikutnya," ujar Anwar.