JAKARTA, KOMPAS.com - Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mengusulkan larangan bagi mantan terpidana kasus korupsi masuk dalam revisi dua undang-undang (UU) yang diinisiasi Komisi II DPR.
Hal tersebut disampaikan anggota Bawaslu, Rahmat Bagja, saat dijumpai wartawan di Hotel Pullman, Tanjung Duren Selatan, Jakarta Barat, Kamis (28/11/2019) petang.
Menurut Bagja usulan itu telah disampaikan dalam daftar isian masalah (DIM) dari pihak Bawaslu ke Komisi II DPR beberapa waktu lalu. Secara garis besar, ada sejumlah poin usulan revisi dalam DIM tersebut.
"Meliputi pengawasan, penindakan, penyelesaian sengketa, sanksi pidana, sentra gakkumdu. Kemudian juga persoalan mantan narapidana korupsi," ujar Bagja.
Baca juga: Belum Final, Larangan Eks Koruptor Maju Pilkada Mungkin Diubah
"(Untuk) mantan narapidana kasua korupsi ini kami setuju ya larangannya. Tapi diatur dalam UU ya. Kalau ada di UU silakan (dilarang)," lanjut dia.
Bagja mengungkapkan, salah satu alasan yang mendasari usulan ini adalah tingkat kejahatan korupsi yang masih tinggi hingga saat ini.
Bawaslu merespons keinginan masyarakat yang menganggap korupsi sebagai tindak kejahatan serius.
Adapun usulan Bawaslu, kata Bagja, meliputi larangan bagi mantan terpidana kasus korupsi maju pada pilkada dan pileg.
"Kalau untuk jadi Presiden kan jelas dilarang ya (sudah ada aturannya dalam UU Pemilu). Nah, Seharusnya (usulan Bawaslu) masuk. Harapan kami bisa masuk dalam UU hasil revisi (nantinya)," tambah dia.
Sebelumnya, Bawaslu menyatakan mendukung rencana Komisi II DPR untuk melakukan revisi terhadap UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Terpisah, anggota Bawaslu lainnya Ratna Dewi Pettalolo mengatakan pihaknya telah membuat DIM untuk revisi kedua UU tersebut.
"Kami dukung (rencana revisi). Kami sudah membuat DIM baik untuk UU Pemilu maupun UU Pilkada. Saya kira pernyataan Pak Mardani (anggota Komisi II DPR Mardani Ali Sera), merupakan harapan kita bersama bahwa masih banyak hal yang harus kita perbaiki," ujar Ratna kepada wartawan di Hotel Pullman, Tanjung Duren Selatan, Jakarta Barat, Kamis siang.
Ratna lantas mencontohkan sejumlah poin yang masuk dalam DIM tersebut.
Pertama, perihal status Pengawas Pemilu di tingkat kabupaten/kota yang berbeda pengaturannya dalam UU Pemilu dan UU Pilkada.
Kedua, penanganan pelanggaran pemilu dan pilkada yang juga berbeda pengaturannya dalam UU Pemilu dan UU Pilkada.
"Dalam Pemilu, waktu penanganan pelanggaran panjang, yakni selama 14 hari kerja. Sementara itu, di UU Pilkada kan hanya hanya lima hari kerja," ungkap Ratna.
Karena waktu penanganan ini berpengaruh kepada kualitas pemeriksaan, maka diperlukan standar waktu yang cukup untuk melakukan pembuktian.
Baca juga: Pengamat: Mestinya yang Dibahas soal Eks Koruptor Maju Pilkada...
"Pembuktian ini kan salah satu tahapan yang paling penting, karena yang harus kita dapatkan kan kualitas pembuktian karena akan memidanakan seseorang, tidak boleh ada kesalahan. Sehingga untuk penanganan pelanggaran pilkada waktunya kami minta diselaraskan dengan UU Pemilu menjadi 14 hari kerja," tutur Ratna.
Terakhir, lanjut dia, ada sejumlah norma yang diatur dalam kedua UU tetapi tidak memiliki sanksi pidana juga dimasukkan dalam DIM.
Misalnya, penggunaan fasilitas negara untuk kampanye oleh pejawat saat pilkada.
"Itulah beberapa hal yang akan kami ajukan perubahannya," tambah Ratna.
Sebagaimana diketahui, anggota Komisi II DPR, Mardani Ali Sera, mengatakan pihaknya sepakat merevisi UU Pemilu dan UU Pilkada.
Revisi kedua dasar hukum pelaksanaan pemilihan ini rencananya dimulai awal 2020.
"Kami Komisi II pada 8 November lalu, sudah sepakat untuk mengajukan tujuh RUU masuk prolegnas 2020," ujar Mardani saat memberikan materi dalam seminar pada Kamis.
"Dari tujuh RUU itu, dua di antaranya yakni revisi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan Revisi UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Revisi kedua UU tersebut efektif per Februari (2020)," lanjut Mardani.
Menurut dia, Komisi II saat ini sedang sangat bersemangat menyiapkan revisi kedua UU.
Harapannya, pada 2021 nanti pembahasan revisi kedua UU bisa selesai.
Baca juga: Anggota Komisi II Yakin Larangan Eks Koruptor Maju Pilkada Dibatalkan MA
"Kita sepakat, kebetulan komisi II sekarang sedang bersemangat. Harapannya pada 2021 sudah selesai pembahasannya dan sudah bisa diketok palu sehingga punya waktu lebih lama ketimbang sebelumnya (jarak dengan pemilu 2024)," tegas Mardani.
Dia menambahkan, Komisi II membuka kesempatan kepada penyelenggara dan pengawas pemilu untuk memberikan aspirasi atas revisi kedua aturan ini.
"Karena kita sudah mau mulai pembahasan maka teman-teman boleh sampaikan aspirasi ke Komisi II," tambah Mardani.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.