JAKARTA, KOMPAS.com – Pemberian grasi oleh Presiden Joko Widodo kepada koruptor alih fungsi lahan yang juga mantan Gubernur Riau Annas Maamun menuai kritik dari sejumlah pihak.
Indonesia Corruption Watch (ICW), misalnya, mempertanyakan komitmen Jokowi dalam pemberantasan korupsi. Meskipun, Peneliti ICW Kurnia Ramadhana mengaku, tak kaget dengan sikap Jokowi tersebut.
"Sikap dari Presiden Joko Widodo ini mesti dimaklumi, karena sedari awal Presiden memang sama sekali tidak memiliki komitmen anti korupsi yang jelas. Jadi jika selama ini publik mendengar narasi anti korupsi yang diucapkan oleh Presiden itu hanya omong kosong belaka," kata Kurnia dalam keterangan tertulis, Selasa (26/11/2019).
Baca juga: Jokowi Sebut Grasi untuk Koruptor Annas Maamun atas Pertimbangan MA dan Mahfud MD
Sebenarnya, seperti apa prosedur pemberian grasi tersebut?
Melansir UU Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi, grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh presiden.
Permohonan grasi tidak menunda pelaksanaan putusan bagi terpidana, kecuali dalam hal pidana mati.
Dalam hal grasi diajukan, presiden berhak mengabulkan atau menolak permohonan yang diajukan terpidana setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Agung.
Baca juga: Jokowi soal Grasi untuk Koruptor Annas Maamun: Umurnya Sudah Uzur, Sakit-sakitan
Secara kronologi, permohonan grasi diajukan oleh terpidana atau kuasa hukumnya kepada presiden.
Adapun permohonan ini dapat diajukan terpidana secara langsung atau keluarganya dengan persetujuan terpidana.
Permohonan grasi tersebut diajukan secara tertulis kepada presiden.
Salinan permohonan disampaikan kepada pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama untuk diteruskan kepada Mahkamah Agung, melalui kepala lembaga pemasyarakatan tempat terpidana menjalani pidana.
Baca juga: Istana Bungkam soal Grasi Jokowi untuk Terpidana Korupsi Annas Maamun
Setelah salinan dilayangkan, pengadilan tingkat pertama memiliki waktu paling lambat 20 hari untuk mengirimkan salinan ke MA.
Berikutnya, MA memiliki waktu tiga bulan sejak tanggal diterimanya salinan untuk mengirimkan pertimbangan tertulis kepada presiden.
Setelah pertimbangan diterima, presiden memberikan keputusan baik berupa pemberian atau penolakan grasi dalam jangka waktu paling lama tiga bulan.
Setelah itu, keputusan tersebut disampaikan kepada terpidana dalam jangka waktu paling lambat 14 hari sejak ditetapkan.
Baca juga: Jokowi Diminta Jelaskan Alasan Pemberian Grasi ke Annas Maamun
Jika pada saat yang sama terpidana mengajukan peninjauan kembali, maka permohonan PK harus diputus terlebih dahulu.
Pertimbangan Jokowi
Presiden Joko Widodo mengungkapkan alasannya memberi grasi untuk Annas Maamun adalah atas pertimbangan kemanusiaan.
"Memang dari sisi kemanusiaan memang umurnya juga sudah uzur dan sakit sakitan terus. Sehingga, dari kacamata kemanusiaan itu diberikan," kata Jokowi di Istana Bogor, Rabu (27/11/2019).
Baca juga: Grasi Presiden Jokowi kepada Annas Maamun yang Menuai Kritik...
Jokowi juga menyebutkan, Mahkamah Agung (MA) serta Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) juga memberi pertimbangan yang sama.
"Kenapa itu diberikan, karena memang dari pertimbangan MA seperti itu. Pertimbangan yang kedua dari Menko Polhukam juga seperti itu," kata dia.
Kepala Bagian Humas dan Protokol Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM Ade Kusmanto mengatakan, grasi tersebut ditetapkan pada 25 Oktober 2019.
"Bahwa memang benar, terpidana H Annas Maamun mendapat grasi dari Presiden berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 23/G Tahun 2019 tentang Pemberian Grasi, tanggal ditetapkan tanggal 25 Oktober 2019," kata Ade dalam siaran pers, Selasa (26/11/2019).
Baca juga: Tiga Grasi Jokowi Sebelum Diberikan ke Annas Maamun
Ade mengatakan, grasi yang diberikan berupa pemotongan masa hukuman selama satu tahun. Artinya, Annas hanya akan menjalani enam tahun masa hukuman kendati divonis tujuh tahun dalam upaya kasasinya.
Annas, kata Ade, tetap diwajibkan membayar hukuman denda sebesar Rp 200 juta yang dijatuhkan kepadanya.
Dengan adanya grasi ini, Annas yang kini ditahan di Lapas Sukamiskin, Bandung, diprediksi akan bebas pada Oktober 2020.
Adapun pada 2015, Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi Bandung menjatuhkan vonis enam tahun penjara kepada Annas karena terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi dalam kasus suap alih fungsi kawasan hutan senilai Rp 5 miliar di Riau.
Pada 2018, Annas mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Namun, kasasi ditolak dan MA memperberat hukuman Annas menjadi tujuh tahun penjara.