Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Wacana Perubahan Masa Jabatan Presiden dan Kekhawatiran Kembalinya Orde Baru…

Kompas.com - 26/11/2019, 07:40 WIB
Kristian Erdianto,
Icha Rastika

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Wacana perubahan masa jabatan presiden terkait rencana amendemen UUD 1945 menimbulkan kekhawatiran dari sejumlah pihak.

Munculnya wacana ini diungkapkan Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid setelah bertemu dengan perwakilan Persatuan Umat Buddha Indonesia (Permabudhi) di Jakarta, Rabu (20/11/2019).

Menurut Hidayat, secara informal ada anggota fraksi di MPR yang mewacanakan seorang presiden dapat dipilih kembali sebanyak tiga periode.

Ada pula yang mewacanakan presiden hanya dapat dipilih satu kali namun masa jabatannya diperpanjang menjadi 8 tahun.

Baca juga: Djarot: Wacana Perubahan Masa Jabatan Presiden Membahayakan

Namun, Hidayat tidak menjelaskan fraksi mana saja yang mewacanakan hal tersebut. Ia hanya menegaskan bahwa wacana yang muncul masih dibahas dan dikaji oleh pimpinan MPR.

Terkait wacana tersebut, Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera menyatakan ketidaksepakatannya.

Mardani menilai, wacana penambahan masa jabatan presiden presiden justru berbahaya bagi perwujudan cita-cita reformasi dan berpeluang membawa Indonesia kembali ke masa Orde Baru.

“Saya heran masih ada pihak-pihak yang menginginkan penambahan masa jabatan presiden. Saya pikir jelas usulan itu membahayakan bagi reformasi yang sedang berjalan. Masa mau nostalgia otoritarianisme Orde Baru lagi?“ ujar Mardani kepada wartawan, Senin (25/11/2019).

Menurut Mardani, bukan kali ini saja wacana penambahan masa jabatan presiden digulirkan. Pada 2010 lalu, wacana serupa juga pernah mencuat.

Baca juga: Ketua DPP PKS: Wacana Penambahan Masa Jabatan Presiden Berbahaya bagi Reformasi

Anggota Komisi II DPR ini mengatakan, sebaiknya penambahan masa jabatan presiden tidak kembali diwacanakan karena kontra-produktif dengan proses demokratisasi yang tengah berjalan.

“Indonesia sudah lebih baik alam demokrasinya dibandingkan era Orde Baru, yang baik itu lihat ke depan, belajar dari pengalaman masa lalu, ambil pelajaran yang baik dan hilangkan yang buruk,” kata Mardani.

Mardani mengingatkan, agenda awal gerakan reformasi adalah membentuk Ketetapan MPR Nomor XII/MPR/1998 tentang Pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia.

Ketetapan itu kemudian diperkuat pada perubahan pertama UU 1945.

Pasal 7 UUD 1945 mengatur presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.

“Kita bisa melakukan reformulasi perencanaan pembangunan nasional saat ini, misalnya MPR menghidupkan GBHN lebih bagus. Bukan mengaktifkan kembali watak oligarki dalam sistem demokrasi kita saat ini,” ucap Mardani.

Membahayakan

Hal senada diungkapkan oleh Kepala Badan Pengkajian MPR Djarot Saiful Hidayat. Ia berpendapat, wacana perubahan masa jabatan presiden merupakan hal yang membahayakan.

Menurut dia, wacana itu kontraproduktif dengan rekomendasi MPR periode 2014-2019, yakni menghidupkan kembali Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).

"Kalau menurut saya sih membahayakan ya. Jadi tidak produktif. Ya boleh-boleh saja (berwacana). Tapi produktif tidak? Kan begitu," ujar Djarot di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (25/11/2019).

Di sisi lain, kata Djarot, perubahan masa jabatan presiden dikhawatirkan akan membawa Indonesia seperti pada masa-masa Orde Baru.

Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) itu mencontohkan masa kepemimpinan Presiden Soeharto yang berkuasa selama lebih dari 30 tahun.

Baca juga: Penambahan Masa Jabatan Presiden Dinilai Tak Bisa Berlaku di Periode Jokowi

Menurut Djarot, masa jabatan presiden yang berlaku saat ini sudah ideal dan tak perlu diperpanjang.

Berdasarkan Pasal 7 UUD 1945, presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan.

Dengan demikian, presiden dan wakil presiden dapat menjabat paling lama 10 tahun dalam dua periode.

"Kalau kita tetap seperti sekarang. Dua periode. Tidak tiga periode. Kembali lagi nanti kayak pak Harto. Pak Harto berapa kali tuh," tutur Djarot.

Tak dikaji

Djarot pun memastikan, pihaknya tidak memiliki rencana untuk membahas wacana perubahan masa jabatan presiden.

Ia mengatakan, Badan Pengkajian MPR hanya akan fokus mengkaji amendemen berdasarkan rekomendasi MPR periode 2014-2019, yakni terbatas pada menghidupkan kembali GBHN.

"Kalau amendemen terbatas itu betul-betul terbatas, hanya ingin menghadirkan pokok-pokok haluan negara. Itu yang direkomendasikan oleh MPR periode lalu. Itu saja. Yang lain-lain itu enggak ada," ujar Djarot.

Menurut Djarot, usul perubahan masa jabatan presiden baru sebatas wacana.

Mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta itu menuturkan, belum ada fraksi yang mengajukan usul tersebut secara formal.

Baca juga: Istana: Jokowi Tak Terpikir Perpanjang Jabatan Jadi 3 Periode

Wacana perubahan masa jabatan presiden, kata Djarot, saat ini baru dilontarkan anggota MPR secara individu.

"Itu kan individu-individu saya lihat, tetapi secara formal saya belum mendengar," ucap Djarot.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tak Ada Tim Transisi pada Pergantian Pemerintahan dari Jokowi ke Prabowo

Tak Ada Tim Transisi pada Pergantian Pemerintahan dari Jokowi ke Prabowo

Nasional
Tok! Kasasi KPK Kabul, Eltinus Omaleng Dihukum 2 Tahun Penjara

Tok! Kasasi KPK Kabul, Eltinus Omaleng Dihukum 2 Tahun Penjara

Nasional
Penetapan Prabowo di KPU: Mesra dengan Anies hingga Malu-malu Titiek Jadi Ibu Negara

Penetapan Prabowo di KPU: Mesra dengan Anies hingga Malu-malu Titiek Jadi Ibu Negara

Nasional
Gibran Bertemu Ma'ruf Amin, Saat Wapres Termuda Sowan ke yang Paling Tua

Gibran Bertemu Ma'ruf Amin, Saat Wapres Termuda Sowan ke yang Paling Tua

Nasional
Anies Dinilai Masih Berpeluang Maju Pilkada Jakarta, Mungkin Diusung Nasdem dan PKB

Anies Dinilai Masih Berpeluang Maju Pilkada Jakarta, Mungkin Diusung Nasdem dan PKB

Nasional
Petuah Jokowi-Ma'ruf ke Prabowo-Gibran, Minta Langsung Kerja Usai Dilantik

Petuah Jokowi-Ma'ruf ke Prabowo-Gibran, Minta Langsung Kerja Usai Dilantik

Nasional
Kejagung Periksa 3 Saksi Terkait Kasus Korupsi Timah, Salah Satunya Pihak ESDM

Kejagung Periksa 3 Saksi Terkait Kasus Korupsi Timah, Salah Satunya Pihak ESDM

Nasional
Tak Dukung Anies Maju Pilkada Jakarta, PKS Dinilai Ogah Jadi “Ban Serep” Lagi

Tak Dukung Anies Maju Pilkada Jakarta, PKS Dinilai Ogah Jadi “Ban Serep” Lagi

Nasional
2 Prajurit Tersambar Petir di Mabes TNI, 1 Meninggal Dunia

2 Prajurit Tersambar Petir di Mabes TNI, 1 Meninggal Dunia

Nasional
Usung Perubahan Saat Pilpres, PKB-Nasdem-PKS Kini Beri Sinyal Bakal Gabung Koalisi Prabowo

Usung Perubahan Saat Pilpres, PKB-Nasdem-PKS Kini Beri Sinyal Bakal Gabung Koalisi Prabowo

Nasional
[POPULER NASIONAL] Anies-Muhaimin Hadir Penetapan Presiden-Wapres Terpilih Prabowo-Gibran | Mooryati Soedibjo Tutup Usia

[POPULER NASIONAL] Anies-Muhaimin Hadir Penetapan Presiden-Wapres Terpilih Prabowo-Gibran | Mooryati Soedibjo Tutup Usia

Nasional
Sejarah Hari Posyandu Nasional 29 April

Sejarah Hari Posyandu Nasional 29 April

Nasional
Tanggal 27 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 27 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Wakil Ketua KPK Dinilai Punya Motif Buruk Laporkan Anggota Dewas

Wakil Ketua KPK Dinilai Punya Motif Buruk Laporkan Anggota Dewas

Nasional
Jokowi Ungkap Kematian akibat Stroke, Jantung dan Kanker di RI Capai Ratusan Ribu Kasus Per Tahun

Jokowi Ungkap Kematian akibat Stroke, Jantung dan Kanker di RI Capai Ratusan Ribu Kasus Per Tahun

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com