JAKARTA, KOMPAS.com — Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian kembali menyinggung perihal pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada).
Hal itu dikatakannya saat memberikan sambutan pada acara penyerahan penghargaan kepada ormas berprestasi di bilangan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, Senin (25/11/2019).
Semula, Tito menegaskan bahwa dirinya tidak pernah mengatakan ingin mengembalikan sistem pilkada langsung ke sistem tidak langsung.
"Saya tidak pernah sama sekali pun mengatakan kembali kepada DPRD, enggak pernah. Tidak pernah juga saya mengatakan pilkada langsung dihilangkan. No, never (tidak pernah berbicara hal itu)," ujar Tito.
Baca juga: Evaluasi Pilkada, Komisi II DPR: Terbuka Opsi Gubernur Dipilih DPRD
Hal yang selama ini ditekankan adalah evaluasi atas dampak negatif pelaksanaan pilkada serentak dan langsung.
Menurut Tito, evaluasi harus dilakukan dengan kajian akademis asalkan evaluasi seperti itu tidak dilakukan Kemendagri.
"Jangan oleh Kemendagri, nanti subjective buyers. Tapi oleh akademis dan tim yang kredibel," lanjut dia.
"Apa kira-kira temuannya? Kita enggak tahu. Bisa saja temuannya masyarakat lebih menghendaki tetap pada pilkada langsung. (Lalu) Apa respons dari Kemendagri? (jika kondisinya demikian) No problem, itu hasil kajian akademik," lanjut dia.
Namun, apabila pilkada tetap dilaksanakan secara langsung, dia ingin ada solusi konkret untuk mengurangi dampak negatifnya.
"Bagaimana mengurangi potensi konflik dan biaya tinggi, misalnya di antaranya dengan e-voting. Kenapa tidak (mencoba mengkaji opsi e-voting)," kata Tito.
Polemik pilkada langsung atau tidak langsung tersebut mencuat setelah Tito melontarkan wacana untuk mengevaluasi pilkada langsung.
Tito mempertanyakan apakah pilkada langsung masih relevan saat ini.
Baca juga: ICW Tantang Mendagri Reformasi Partai Sebelum Wacanakan Evaluasi Pilkada Langsung
"Tapi kalau dari saya sendiri justru pertanyaan saya adalah apakah sistem politik pilkada ini masih relevan setelah 20 tahun," kata Tito.
Sebagai mantan Kapolri, Tito tidak heran apabila banyak kepala daerah yang terjerat kasus tindak pidana korupsi.
Hal itu karena besarnya ongkos politik yang dikeluarkan pasangan calon lantaran sistem pilkada langsung.
"(Pilkada langsung) banyak manfaatnya, yakni partisipasi demokrasi, tapi kita lihat mudaratnya juga ada, politik biaya tinggi," ujar Tito.
"Kepala daerah kalau enggak punya Rp 30 miliar mau jadi bupati, ya mana berani dia?" lanjut dia.