JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Eksekutif Lokataru Haris Azhar menilai, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi ( KKR) harus mampu mengungkap secara utuh praktik pelanggaran HAM berat pada masa lalu oleh suatu rezim.
Haris menanggapi rencana pemerintah menghidupkan kembali KKR untuk mengungkap kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu.
Hal itu dipaparkan Haris dalam diskusi bertajuk Menghidupkan Kembali Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi: Harus Berpihak pada Kebenaran dan Keadilan, di Brownbag, Jakarta, Jumat (22/11/2019).
"Menurut saya begini, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi itu dia harus memoret secara utuh criminal regime, jadi mengungkap fakta tentang kejahatan praktik kriminal yang dilakukan oleh sebuah rezim. Maka perlu nantinya mereka bekerja dengan melihat periode kapan sampai kapan," kata Haris.
Baca juga: Kontras Minta KKR Diisi Orang-orang Kompeten jika Dihidupkan Lagi
KKR, kata dia, harus mencermati pola-pola pelanggaran HAM berat suatu rezim. Sebab, KKR akan membongkar suprastruktur penyebab praktik kejahatan itu terjadi.
"Bukan sekadar, misalnya, menemukan seperti siapa yang dihilangkan, dan di mana, tetapi harus membongkar siapa yang memberi perintah, yang memotivasi, dan lainnya. KKR harus punya efek luar biasa, membongkar struktur dan suprastruktur. Suprastruktur yang mengendalikan, memberi motivasi, mengontrol bagaimana proses itu terjadi," kata dia.
Dengan demikian, KKR harus berkoordinasi dengan para peneliti, ahli sejarah, saksi sejarah dan pihak terkait yang relevan sehingga KKR bisa mengungkap gambaran yang utuh dalam melihat suatu kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
"Dan memperkuat kebenaran. Mereka harus melihat siapa yang paling bertanggungjawab yang bisa didorong untuk dibawa ke mekanisme pengadilan. Karena kalau dia tidak melihat siapa yang paling bertanggung jawab, maka ini kelasnya seperti penanganan tindak pidana biasa," kata dia.
Jika KKR berhasil mengungkap fakta-fakta tertentu tetapi tidak menunjukkan terduga pelaku, itu bisa digunakan untuk perbaikan kondisi.
"Kondisi siapa? Korbannya, keluarganya, masyarakatnya, pengacaranya, itu mereka berhak mendapatkan program reparasi. Lebih dari itu, fakta-fakta itu harus dijadikan dokumen publik yang bisa digunakan untuk merumuskan kebijakan-kebijakan pembaharuan," ujar Haris.
Tulis komentar dengan menyertakan tagar #JernihBerkomentar dan #MelihatHarapan di kolom komentar artikel Kompas.com. Menangkan E-Voucher senilai Jutaan Rupiah dan 1 unit Smartphone.
Syarat & Ketentuan