JAKARTA, KOMPAS.com — Wacana evaluasi masa jabatan presiden dan wakil presiden mencuat di tengah upaya partai politik melakukan amendemen Undang-Undang Dasar 1945 di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Wacana ini pertama kali dicetuskan Bambang Soesatyo saat masih menjabat sebagai Ketua Dewan Perwakilan Rakya (DPR) periode 2014-2019.
Menurut dia, presiden sebaiknya dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), sama seperti saat Pemilu 1999.
Saat ini, Bamsoet, panggilan akrab politikus Golkar, menjabat sebagai ketua MPR periode 2019-2024.
"Apa enggak sebaiknya pilpres dikembalikan lagi ke MPR," kata Bambang dalam diskusi rilis survei nasional oleh Cyrus Network di Ashley Hotel, Menteng, Jakarta Pusat, pada 9 Agustus.
Baca juga: Ketua DPR Usul Presiden Kembali Dipilih MPR
Mahalnya biaya pelaksanaan pilpres menjadi salah satu alasan munculnya gagasan tersebut.
Wacana tersebut secara tidak langsung mengembalikan konsep pemilihan umum secara langsung menjadi tidak langsung.
Bambang menambahkan, adanya perubahan sistem pemilihan ini sekaligus bertujuan untuk mengembalikan kedaulatan MPR sebagai lembaga tertinggi negara.
Namun, diskursus pemilihan presiden yang berkembang saat ini bukan hanya sebatas pada cara pemilihannya. Akan tetapi, perdebatan juga sudah mengarah pada masa jabatan yang bisa dipegang oleh seorang presiden.
Baca juga: Pakar Sebut Masa Jabatan Presiden 5 Tahun Tak Efektif jika Setelahnya Langsung Menjabat lagi
Saat masih menjabat sebagai Ketua Fraksi Nasdem di MPR, Johnny G Plate mengungkapkan, ada berbagai usulan di dalam perubahan masa jabatan.
Misalnya, ada yang yang mengusulkan masa jabatan presiden berkurang menjadi empat tahun tetapi dapat dipilih sebanyak tiga kali.
Selain itu, ada pula yang mengusulkan agar masa jabatan presiden menjadi delapan tahun dalam satu periode. Gagasan lain, ada yang mengusulkan tetap lima tahun seperti saat ini, tetapi dapat dipilih sebanyak tiga kali.
"Itu harus didiskusikan. Jadi mendalaminya harus komprehensif tidak sepotong-potong," kata Plate yang kini menjadi Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) pada 7 Oktober.
Baca juga: Wakil Ketua MPR Ungkap Ada Wacana Perubahan Masa Jabatan Presiden di UUD 1945
Berdasarkan Pasal 7 UUD 1945, presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan. Dengan demikian, presiden dan wakil presiden dapat menjabat paling lama 10 tahun dalam dua periode.
Menurut Ketua Fraksi Partai Gerindra di MPR, Ahmad Riza Patria, pihaknya tidak setuju bila masa jabatan presiden dan wakil presiden ditambah. Masa jabatan yang berlaku saat ini dinilai sudah cukup ideal.
"Jangan masa jabatan presiden itu berlama-lama. Sudah kita putuskan dua periode cukup," ujar Riza di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (21/11/2019).
"Yang ideal memang lima tahun, dua kali. Jadi antara bupati, gubernur, caleg, presiden, semua sama itu lima tahun. Sudah bagus," tuturnya.
Baca juga: Gerindra: Masa Jabatan Presiden Jangan Terlalu Lama, 2 Periode Cukup
Hal senada disampaikan Wakil Ketua MPR dari Fraksi PDI Perjuangan Ahmad Basarah. Menurut dia, tidak ada kebutuhan yang mendesak untuk menambah atau mengurangi masa jabatan presiden di dalam UUD 1945.
"Kami memandang tidak ada urgensinya untuk mengubah konstitusi kita yang menyangkut tentang masa jabatan presiden," ujar Basarah saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (21/11/2019).
Sejauh ini, Fraksi PDI-P setuju untuk mengamandemen UUD 1945 secara terbatas. Dalam hal ini, perubahan konstitusi hanya dilakukan untuk menghidupkan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Menurut Basarah, dengan adanya GBHN, rencana pembangunan nasional dapat berjalan secara berkesinambungan meski terjadi pergantian kepemimpinan.
"Kita tidak perlu lagi khawatir jika ganti presiden akan ganti visi misi, ganti program, karena sudah ada road map-nya. Bangsa Indonesia tidak perlu lagi khawatir siapa pun presidennya karena pembangunan nasional akan berkelanjutan," ucap Basarah.
Baca juga: PDI-P: Tak Ada Urgensi Mengubah Masa Jabatan Presiden
Sementara itu, Ketua DPP Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Tsamara Amany mengatakan, partainya mengusulkan agar masa jabatan diperpanjang menjadi tujuh tahun dalam satu periode.
Namun, jabatan tersebut dibatasi hanya satu periode.
Menurut dia, dengan periode yang lebih panjang, presiden dapat fokus untuk menyelesaikan program kerja yang telah disusunnya.
Selain itu, meski saat ini presiden dapat dipilih sebanyak dua kali, masa efektif kepala negara bekerja hanya tujuh tahun.
Baca juga: PSI Usul Masa Jabatan Presiden Jadi Tujuh Tahun
Di samping itu, biaya pelaksanaan pemilu dinilai juga relatif lebih murah dibandingkan pelaksanaan pemilu setiap lima tahun sekali.
Hal yang lebih penting ialah menghilangkan konsep petahana sehingga presiden tidak akan sibuk memikirkan bagaimana cara agar terpilih kembali di periode ke depan dan fokus menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat.
Di lain pihak, Wakil Ketua MPR dari Fraksi PKS Hidayat Nur Wahid berpandangan, pihaknya tak bisa melarang berbagai usulan yang mencuat. Sebab, semua pihak dapat memunculkan berbagai gagasan di alam demokrasi seperti saat ini.
Hal yang sama disampaikan Wakil Ketua MPR dari Fraksi PPP Arsul Sani. Menurut dia, setiap wacana yang mencuat tentunya diikuti dengan adanya berbagai pertimbangan dengan tujuan agar proses pembangunan yang telah disusun dapat berjalan lebih baik.
"Ya itu kan baru sebuah wacana ya. Dan itu juga punya logical thinking-nya. Karena dengan satu kali masa jabatan tapi lebih lama, dia juga bisa meng-exercise, mengeksekusi program-programnya dengan baik," kata Arsul di Kompleks Parlemen, Kamis (21/11/2019).
Sumber: Kompas.com (Penulis: Haryanti Puspa Sari, Kristian Erdianto)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.