JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar hukum tata negara Denny Indrayana mengatakan, pada dasarnya pilkada langsung atau tidak langsung sama-sama konstitusional.
Tak ada satu bentuk pemilihan kepala daerah dianggap konstitusional, sementara yang lain tidak.
"Kalau kita bicara pilkada, langsung atau tidak langsung, secara UUD 1945 itu memungkinkan ya," ujar Denny saat dijumpai di Kantor Kemenko Polhukam, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Kamis (21/11/2019).
"Sebab, bahasa pada UUD-nya kan, dipilh secara demokratis," lanjut dia.
Baca juga: Wapres: Pilkada DPRD Dianggap Tak Demokratis, Pilkada Langsung Biayanya Besar
Artinya, konstitusi hanya menjelaskan prinsip umum, sementara bentuk teknisnya adalah politik hukum pembuat undang-undang.
Dengan demikian, Denny berpendapat, apapun bentuk pemilihan kepala daerah yang dipilih nantinya, apakah pilkada langsung atau pilkada tak langsung, maka yang harus dipastikan adalah sesuai azas demokrasi.
Pria yang pada Pilkada 2020 maju sebagai salah satu kontestan di Provinsi Kalimantan Selatan itu mencontohkan salah satu praktik pada pilkada yang merusak demokrasi, yakni politik uang.
Sebab, baik pilkada langsung atau pun tidak langsung, praktik politik uang sama-sama berpotensi terjadi.
Baca juga: Nasdem Sepakat Pilkada Langsung Dievaluasi, tetapi Tak Ubah Mekanisme
"Tentunya yang harus kita antisipasi apapun pilihannya, jangan sampai merusak demokrasi. Pilkada yang merusak demokrasi itu kan yang marak money politic. Jadi itu yang harus kita tekankan," tutur dia.
Tentang pendapat Denny sendiri apakah pilkada sebaiknya langsung atau tidak, Wakil Menteri Hukum dan HAM 2011-2014 itu enggan berkomentar lebih jauh.
"Kita serahkan ke pembuat undang-undang. Karena keduanya kan sebenarnya baik langsung dan tidak langsung itu konstitusional, " lanjut dia.
Polemik pilkada langsung atau tidak langsung tersebut mencuat setelah Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian melontarkan wacana untuk mengevaluasi pilkada langsung.
Tito mempertanyakan apakah Pilkada langsung masih relevan saat ini.
"Tapi kalau dari saya sendiri justru pertanyaan saya adalah apakah sistem poltik pemilu Pilkada ini masih relevan setelah 20 tahun," kata Tito.
Sebagai mantan Kapolri, Tito tidak heran apabila banyak kepala daerah yang terjerat kasus tindak pidana korupsi.
Baca juga: Soal Pilkada Langsung atau Tidak, KPU Ingin Ada Kajian Mendalam
Hal itu karena besarnya ongkos politik yang dikeluarkan pasangan calon lantaran sistem pilkada langsung.
"(Pilkada langsung) banyak manfaatnya, yakni partisipasi demokrasi, tapi kita lihat mudaratnya juga ada, politik biaya tinggi," ujar Tito.
"Kepala daerah kalau enggak punya Rp 30 miliar mau jadi bupati, ya mana berani dia?" lanjut dia.
Tidak lama setelah wacana evaluasi pilkada langsung mencuat, Presiden Jokowi pun angkat bicara.
Lewat Juru Bicara Presiden, Fadjroel Rachman, Jokowi menegaskan, pemilihan kepala daerah tetap melalui mekanisme pemilihan langsung oleh masyarakat.
Baca juga: Presiden PKS: Saat Ini Oligarki Luar Biasa, Pilkada Langsung Masih Lebih Baik
Jokowi tidak ingin calon kepala daerah dipilih oleh DPRD.
"Presiden Jokowi mengatakan, pilkada provinsi/kabupaten/kota tetap melalui mekanisme pemilihan langsung yang merupakan cermin kedaulatan rakyat/demokrasi dan sejalan dengan cita-cita Reformasi 1998," kata Fadjroel kepada wartawan, Selasa (12/11/2019).
Fadjroel mengakui pemerintah ingin melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan pilkada langsung yang sudah berjalan selama 20 tahun terakhir. Namun evaluasi itu tak akan mengubah sistem pilkada kembali lewat DPRD.
"Yang akan dievaluasi hanya teknis penyelenggaraan," kata Fadjroel.