JAKARTA, KOMPAS.com - Puluhan masyarakat yang mengatasnamakan Tim Advokasi UU KPK melayangkan gugatan formil terkait UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Gugatan tersebut diprakarsai oleh 13 pemohon dan 39 kuasa hukum. Keduanya berkolaborasi melakukan perlawanan melalui jalur konstitusional terhadap UU KPK terbaru.
Adapun para pemohon tersebut di antaranya Agus Rahardjo, Laode Muhamad Syarif, Saut Situmorang, Erry Riyana Hardjapamekas, Mochammad Jasin, Omi Komaria Madjid, dan Betti S Alisjahbana, Hariadi Kartodihardjo.
Kemudian disusul Mayling Oey, Suarhatini Hadad, Abdul Ficar Hadjar, Abdillah Toha, dan Ismid Hadad.
Baca juga: Tim Advokasi UU KPK Singgung Komitmen Jokowi Berantas Korupsi
Sedangkan 39 kuasa hukum meliputi Indonesia Corruption Watch (ICW), LBH Jakarta, YLBHI, hingga sejumlah kantor hukum profesional.
Dalam pengajuannya, para pemohon dan kuasa hukum sendiri tidak mengatasnamakan lembaga, melainkan atas nama pribadi sebagai warga negara.
Adapun permohonan uji formil mereka telah teregistrasi di MK dengan nomor 1927-0/PAN.MK/XI/2019.
1. Cacat Formil
Salah satu pemohon, Laode Muhammad Syarif menyoroti proses pembahasan revisi UU KPK yang berlangsung cepat.
Namun demikian, cepatnya revisi UU KPK justru melewatkan mekanisme pembentukan perundang-undangan.
Baca juga: Ajukan Uji Formil UU KPK ke MK, Agus Rahardjo Masih Berharap Jokowi Terbitkan Perppu
Bahwa, pada kenyataannya, DPR tidak terlebih dahulu mengkonsultasikan ke publik atas rencana revisi UU KPK.
Ditambah, dalam perjalanannya, DPR juga tak memperlihatkan Daftar Inventaris Masalah (DIM) kepada KPK sebagai stakeholder utama dari UU KPK.
"Berikutnya, bahkan tidak ada naskah akademik dari UU itu, tidak masuk dalam Prolegnas," ujar Laode di Gedung MK, Rabu (20/11/2019).
Laode mengatakan, KPK secara institusi sama sekali tidak dilibatkan dalam proses pembahasan revisi UU KPK.
Sebagai lembaga yang menjalan UU a quo, seharusnya KPK dilibatkan dalam pembahasan di DPR.
Baca juga: Uji Materi UU KPK ke MK, Laode M Syarif Sebut Korupsi Musuh Utama Bangsa
Di sisi lain, dokumen pengajuan uji formil yang diserahkan ke MK sebagian berisikan mengenai aspek materil dari UU KPK terbaru.
Namun demikian, Laode menegaskan bahwa tujuan utama dari pengajuan judicial review tetap mengacu pada aspek formil.
"Karena kami melihat bahwa proses pembentukan UU revisi KPK tidak sesuai dengan syarat-syarat pembentukan UU," ucap Laode.
2. Masih Berharap Perppu
Keputusan gugatan ini tak serta-merta memfokuskan perlawanan konstitusional terhadap UU KPK.
Namun demikian, para pemohon dan kuasa hukum masih berharap Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) yang isinya membatalkan UU KPK.
Baca juga: 39 Kuasa Hukum Kawal Uji Materi UU KPK di MK
Salah satu pemohon lainnya, Agus Rahardjo berharap, MK dapat menerima pengajuan gugatan tersebut.
Di sisi lain, langkah gugatan ini juga tetap menyisakan harapan terhadap Jokowi agar segera mengeluarkan Perppu.
"Pengajuan judicial review terkait dengan UU KPK yang baru Nomor 19 tahun 2019. Walaupun harapan kami sebenernya masih pengen presiden mengelurkan perppu," kata Agus.
3. Korupsi Musuh Utama Bangsa
Langkah mengajukan gugatan ini merupakan usaha untuk kembali menghela nafas panjang bagi KPK dalam memberantas korupsi di Indonesia.
Pasalnya, keberadaan UU KPK tersebut secara tidak langsung sebagai usaha mengebiri peran KPK dalam memberantas korupsi.
Baca juga: Laode M Syarif Berharap MK Terima Uji Materi UU KPK yang Diajukan Pimpinan KPK
Laode mengatakan, dengan pemberlakuan UU KPK tersebut secara tidak langsung telah mengurangi peran lembaga antirasuah dalam memberantas korupsi.
"Kita tahu persis bahwa yang menjadi musuh, salah satu musuh utama dari negara ini adalah korupsi," ujarnya.
Laode mengatakan, praktik korupsi telah berdampak besar. Kompleksitas korupsi itu telah membuat sekitar 20 juta rakyat Indonesia masuk dalam garis kemiskinan.
"Termasuk pemenuhan hak hidup dan hak memperoleh pekerjaan," kata dia.
4. Tagih Komitmen Jokowi
Salah satu kuasa hukum pemohon, Kurnia Ramadhani mempertanyakan langkah Jokowi yang tak kunjung memastikan diterbitkannya Perppu sebelum ada keputusan uji materi UU KPK oleh MK.
Baca juga: Permohonan Uji Materi UU KPK Pimpinan KPK Berupa Uji Formil
Seperti diketahui, Jokowi menegaskan bahwa penerbitan Perppu menunggu proses uji materi UU KPK di MK.
Menurut Kurnia, sikap Jokowi yang terkesan menunggu justru tak sejalan dengan mekanisme melahirkan Perppu.
Ia menyebut Perppu tidak membutuhkan syarat apapun, termasuk menunggu hasil keputusan MK.
Sebab, keputusan Perppu menjadi hak subjektif dari Presiden yang dilanjutkan uji objektifitas di DPR.
Baca juga: Atas Nama Pribadi, Tiga Pimpinan KPK Gugat UU KPK ke MK
"Jadi kalau presiden mengatakan tidak sopan, menunggu judicial review dan sebagainya, itu pernyataan yang tidak tepat," ucap Kurnia.
"Karena pada dasarnya itu dua ranah berbeda. Karena Perppu adalah hak subjektif Presiden dan judicial review hak masyarakat. Jadi jangan mengkaitkan dua hal itu," sambung Kurnia.
Dengan sikap Jokowi tersebut, lantas Kurnia pun menagih komitmen Jokowi yang selama ini mendengungkan isu antikorupsi hingga keberpihakan terhadap KPK.
Baca juga: Bantahan hingga Tudingan DPR saat Bersaksi di MK soal Gugatan UU KPK...
Namun demikian, Kurnia berpendapat sikap Jokowi saat ini tak menunjukan ketegasan dalam berpihak.
Kurnia menilai, menerbitkan Perppu merupakan jalan satu-satunya Jokowi jika ingin membuktikan keberpihakan dan komitemennya.
"Karena MK ini waktunya akan panjang, sementara kerusakan KPK sudah berjalan sejak tanggal 17 Oktober 2019 lalu atau sejak berlakunya UU KPK baru," tegas Kurnia.