JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua DPP Partai Golkar Meutya Hafid menegaskan, pemilihan ketua umum Partai Golkar dalam musyawarah nasional (munas) mendatang dilakukan melalui mekanisme musyawarah mufakat.
Melalui mekanisme tersebut, para pemilik suara diharapkan dapat duduk bersama untuk menunjuk calon ketua umum.
"Musyawarah mufakat pokoknya, silakan DPD (dewan pimpinan daerah) pemilik suara, para calon duduk bersama, kemudian memikirkan terbaik partai," kata Meutya di kantor DPP Golkar, Slipi, Jakarta Barat, Rabu (20/11/2019).
Baca juga: Jokowi Faktor Kunci Pemilihan Ketua Umum Golkar 2019-2024
Meutya mengatakan, mekanisme musyawarah mufakat dipilih untuk menghindari terjadinya konflik.
Sebab, sepanjang sejarah Golkar, mekanisme pemilihan ketua umum selain musyawarah mufakat mengakibatkan munculnya perpecahan.
"Karena Golkar kalau kita lihat sepanjang sejarahnya setelah reformasi dalam munas selalu muncul potensi perpecahan melahirkan partai baru," ujarnya.
Sebelumnya, Ketua Umum Golkar yang disebut-sebut bakal kembali menjadi caketum, Airlangga Hartarto, melempar sinyal bahwa pemilihan ketua umum Golkar yang baru dapat dilakukan secara aklamasi.
Menurut Airlangga, mekanisme aklamasi pun bagian dari demokrasi.
"Aklamasi itu bagian dari demokrasi juga," kata Airlangga di Ritz Carlton, Jakarta Selatan, Kamis (14/11/2019).
Airlangga mengatakan, pemilihan ketua umum melalui aklamasi tidak sekali terjadi di internal Golkar.
Sebelumnya, Aburizal Bakrie juga terpilih sebagai ketua umum melalui aklamasi. Airlangga pun pada 2017 terpilih sebagai ketua umum secara aklamasi menggantikan Setya Novanto yang terjerat kasus korupsi.
Baca juga: Pengamat Nilai Partai Golkar Sulit Munculkan Tokoh Pemimpin Nasional
Di sisi lain, Bambang Soesatyo menyebut, pemilihan ketua umum partai secara aklamasi berpotensi memecah belah partai.
Dalam tubuh Golkar, mekanisme aklamasi ini terbukti pernah membagi partai menjadi dua kubu.
"Tapi yang pasti kita punya pengalaman pahit, pemaksaan aklamasi itu membuat kita pecah dan kita pernah pecah ada (kubu) Ancol dan (kubu) Bali. (Kubu) Bali itu kan pemaksaan aklamasi yang melahirkan (kubu) Ancol," kata Bambang.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.