JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi II DPR RI sepakat untuk melakukan evaluasi terhadap penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung atau dipilih oleh rakyat.
Hal ini sesuai dengan keinginan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian yang sebelumnya mengusulkan penyelenggaraan pilkada langsung harus dievaluasi.
Pasalnya, ongkos politik yang dikeluarkan calon kepala daerah cukup tinggi. Oleh karena itu, ia menilai, pilkada langsung lebih banyak mudaratnya.
Mantan Kapolri ini juga meminta, perlu dilakukan pengkajian terhadap pilkada langsung untuk melihat dampak positif dan negatifnya.
"Banyak manfaatnya yakni partisipasi demokrasi, tapi kita lihat mudaratnya juga ada, politik biaya tinggi. Kepala daerah kalau enggak punya Rp 30 miliar mau jadi bupati, mana berani dia," kata Tito di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (6/11/2019).
Baca juga: Wasekjen PPP: Ongkos Politik Tinggi, Pilkada oleh DPRD Dapat Dibenarkan
Usulan Tito tersebut menjadi ramai dan didiskusikan oleh publik. Publik beranggapan Tito ingin mengubah pemilihan kepala daerah dikembalikan ke DPRD.
Senin (18/19/2019), Tito pun mengklarifikasi pernyataannya terkait pilkada secara langsung.
Tito menegaskan, dirinya hanya mengusulkan mekanisme pilkada secara langsung untuk dievaluasi, bukan dikembalikan kepada DPRD.
"Usulan yang saya sampaikan adalah, bukan untuk kembali ke A atau ke B, tetapi adakan evaluasi," kata Tito di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.
Tito menjelaskan, ia meminta pilkada langsung dievaluasi karena ada potensi terjadi konflik horizontal dan ongkos politik yang tinggi.
Baca juga: Soal Wacana Pilkada Tak Langsung, KPU Akan Patuhi Bunyi Undang-undang
Ongkos politik yang tinggi, menurut Tito, membuat kelapa daerah sering terjaring operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Jadi kita sudah menciptakan sistem yang membuat kepala daerah itu tetap korupsi. Kalau enggak ada yang memang tidak melakukan itu, kita sangat bersyukur," tuturnya.
Pilkada asimetris
Kemudian, Tito meminta, ada kajian tentang indeks kedewasaan demokrasi di tiap-tiap daerah terkait pilkada langsung. Menurut dia, hasil kajian tersebut dapat menjadi mekanisme pilkada secara asimetris.
"Kalau asimetris berarti kita harus membuat indeks democratic maturity yaitu kedewasaan demokrasi tiap daerah," kata Tito di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (18/11/2019).
Baca juga: Komisi II Ingin UU Pilkada Selesai Direvisi Sebelum 2022
Tito menjelaskan, daerah-daerah yang memiliki kedewasaan demokrasi yang cukup tinggi bisa menyelenggarakan pilkada secara langsung.
Sebab, masyarakat di daerah tersebut dinilai mampu mengkritisi visi dan misi calon kepala desa.
Sementara itu, kata Tito, bagi daerah yang memiliki indeks kedewasaan demokrasi rendah, maka perlu disiapkan mekanisme lain yaitu, pemilihan kepala daerah dikembalikan ke DPRD.
"Yang rendah maka ini mekanisme lain apakah melalui DPD, DPRD seperti dulu, tapi bagaimana reduce damage juga. Kalau problem di DPRD bagaimana dengan independen tadi, mereka bisa terakomodir solusinya seperti apa?" ucapnya.
Baca juga: Soal Pilkada Langsung atau Tidak, KPU Ingin Ada Kajian Mendalam
Lantas, apakah pilkada asimetris mendapat dukungan dari parpol?
PDI Perjuangan
PDI Perjuangan mendukung usulan Tito untuk melakukan evaluasi terhadap pilkada langsung.
Sama dengan Mendagri, Hasto mengatakan, dari pengalamannya, pilkada langsung bisa berpotensi terjadinya konflik horizontal.
Selain itu, biaya politik yang tinggi di daerah sehingga membuat para kepala daerah melakukan eksploitasi terhadap sumber daya alam demi mengembalikan modal politiknya.
"Oleh karena itu, karena kepentingan investor politik sehingga di daerah dilakukan berbagai eksploitasi alam luar biasa. Mengeruk kekayaan alam kita luar biasa karena pilkada dengan biaya politik mahal," kata Hasto melalui keterangan tertulis, Selasa (19/11/2019).
Baca juga: Setuju Mendagri, PDI-P Usul Penerapan Dua Sistem Pilkada
Hasto juga mengatakan, partainya menilai pemerintah bisa melakukan pilkada dengan dua sistem pemilihan yang berbeda, tergantung hasil indeks kedewasaan demokrasi.
Pemilihan kepala daerah yang dimaksud Hasto adalah pilkada asimetris.
"Daerah-daerah yang potensi konfliknya besar, maka di daerah tersebut dengan hikmat kebijaksanaan, kita galakkan pemilu asimetris," kata Hasto.
PPP
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sekaligus Wakil Ketua Komisi II DPR, Arwani Thomafi, mengatakan, pilkada di Indonesia sudah menerapkan sistem asimetris.
Hal itu, kata dia, bisa dilihat dari pilkada di Papua yang menggunakan sistem noken. Kemudian, di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) masyarakatnya tidak melaksanakan pilkada langsung untuk memilih gubernur.
"Yang terpenting ada evaluasi apakah nantinya pilkada ini tetap dilaksanakan secara langsung (seluruhnya), atau tidak langsung di mana kepala daerah dipilih oleh DPRD, atau pilkada dengan sistem asimetris (ada daerah yang langsung dan ada yang tidak langsung)," ujar Arwani di DPP PPP, Cikini, Jakarta Pusat, Selasa (19/11/2019).
Baca juga: Politisi PPP Nilai Sistem Pilkada Indonesia Saat Ini Sudah Asimetris
Lebih lanjut, Arwani sepakat bahwa ciri khas masing-masing daerah saat memilih kepala daerah dapat dipertimbangkan.
Pasalnya, tujuan utama pilkada adalah mencari seorang pemimpin yang berkualitas dan membawa kesejahteraan bagi rakyat. Ia meyakini daerah-daerah tertentu dapat melakukan tersebut.
Gerindra
Partai Gerindra tak menyatakan secara spesifik apakah partainya mendukung atau tidak pilkada secara langsung.
Namun, partai yang dinakhodai Menteri Pertahanan Prabowo Subianto itu tak mempermasalahkan jika kepala desa dipilih DPRD.
Sebab, pilkada melalui DPRD tidak melanggar UUD 1945.
"Sehingga, tidak masalah jika wakil rakyat yang menentukan kembali wali kota/bupati di daerah masing-masing," kata Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad dalam keterangan tertulis, Selasa (19/11/2019).
Baca juga: Waketum Gerindra Sebut Pilkada Melalui DPRD Tak Langgar UUD 1945
Dasco mengatakan, dalam Pasal 18 ayat 4 dalam UUD 1945, tidak disebutkan bahwa pemilihan kepala daerah harus dilakukan secara langsung.
"Bunyi Pasal 18 Ayat (4) UUD NRI Tahun 1945: 'Gubernur, bupati, dan wali kota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis'," ujarnya.
Adapun pertimbangan lain Partai Gerindra adalah pemilihan kepala daerah yang dapat memicu konflik antar-pendukung calon dan biaya politik yang mahal.
Nasdem
Berbeda dengan tiga parpol lainnya, Nasdem menyatakan sepakat untuk mengevaluasi penyelenggaraan pilkada, tetapi tak ingin mengubah pemilihan kepala daerah dikembalikan ke DPRD.
Hal itu disampaikan oleh Sekretaris Fraksi Partai Nasdem di DPR sekaligus Wakil Ketua Komisi II DPR, Saan Mustopa, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (19/11/2019).
"Nah, nanti bagian apa saja yang dievaluasi, itu yang akan kita lihat dari sisi ini titik-titik kelemahannya. Misalnya pilkada langsung terlalu mahal, nanti kita lihat biaya politik itu paling mahal di mana saja," kata Saan.
Baca juga: Nasdem Sepakat Pilkada Langsung Dievaluasi, tetapi Tak Ubah Mekanisme
Saan menilai, terjadi kemunduran demokrasi bila pilkada dikembalikan ke DPRD. Ia juga mengatakan, pilkada lewat DPRD belum tentu membuat biaya politik yang mahal menjadi lebih murah.
"Kemudian, munculnya oligarki. Persoalannya apakah lebih murah? Money politics-nya? Justru jangan-jangan lebih mahal karena sudah tahu siapa yang disasar," ucapnya.
Lebih lanjut, Saan memastikan, Komisi II belum menerima secara resmi permohonan revisi Undang-Undang tentang Pilkada. Namun, UU tersebut tetap akan masuk dalam Prolegnas.
"Namun, Komisi II tetap masukan itu sebagai bagian dari Prolegnas, tapi prioritas atau belum di baleg juga belum ada pembahasan," pungkasnya.