Sayangnya, upaya menutup situs-situs tersebut tak semudah membalikkan telapak tangan.
"Itu kita laporkan ke Kemenkominfo sejak 2014. Namun, ternyata ada peraturannya (di Kemenkominfo) tentang tindakan (pemblokiran), yakni diundang dulu, diberitahukan dulu adminnya. Kalau tak ada perubahan baru ada teguran," kata Deputi Deradikalisasi BNPT Irfan Idris usai mengisi sebuah diskusi di Tanah Abang, Jakarta Pusat, Sabtu (16/11/2019).
Baca juga: BNPT Sebut Pemblokiran Situs Radikal Terhambat Aturan Kemenkominfo
Teguran pun tidak dilakukan satu kali. Menurut Irfan, setelah ditegur beberapa kali tetapi tidak ada perubahan, barulah Kemenkominfo dapat melakukan pemblokiran.
Namun, pemblokiran belum berarti ditutup. Proses yang panjang itulah yang pada akhirnya membuat upaya menghalau penyebaran situs-situs radikal sulit terwujud.
Bak peribahasa mati satu tumbuh seribu, demikian pula kondisi yang terjadi pada penyebaran paham radikalisme melalui situs-situs radikal.
"Harus diketahui, kalau ditutup satu, jangankan situs teror, situs pornografi saja ditutup satu tumbuh seribu," tutur Irfan
Sementara itu, menurut Ketua Satgas Nusantara yang juga Kapolda Metro Jaya Inspektur Jenderal Gatot Eddy Pramono, penyebaran paham radikal dianggap lebih efisien dilakukan dengan cara modern seperti saat ini.
"Kalau dulu orang mengajarkan paham radikal itu melalui cara pertemuan atau diskusi, sekarang menggunakan medsos," kata dalam sebuah diskusi di kawasan Sudirman, Jumat (15/11/2019).
Pemerintah pun menghadapi dilema besar dalam mengatasi penyebaran paham radikal di dunia maya. Sebab, tak hanya hal negatif yang berseliweran di dalamnya, tetapi juga banyak hal positif yang dapat menangkal paham radikal.
Baca juga: Ini Tiga Sebab Menguatnya Sikap Intoleransi di Indonesia Versi Polri
Ketiga, rasa sakit hati atas setiap upaya penangkapan dan pengungkapan aksi teror yang dilakukan aparat kepolisian.
Dalam hal ini, aparat keamanan yang berwenang menangkap pelaku teror, perlu mengubah cara penyampaian informasi kepada masyarakat. Selama ini, ada paradigma yang mengesankan polisi terkesan arogan setiap kali berhasil mengungkap aksi teror.
Misalnya, aparat kepolisian menggunakan diksi 'Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri berhasil menembak terduga teroris'. Pernyataan tersebut tanpa disadari dapat membangkitkan rasa tidak terima sejumlah kalangan di bawah alam sadarnya.
"Baru terduga sudah ditembak mati, ada orang yang tidak terima dengan ini, kita tidak tahu akibatnya ada yang dendam, keluarganya, atau siapa," kata mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (Bais) Laksamana Muda TNI (Purnawirawan) Soleman B Ponto di Jakarta, Sabtu (16/11/2019), seperti dikutip Antara.
Perlu adanya perbaikan diksi yang dapat membuat masyarakat terpicu untuk melakukan aksi balasan. Selain itu, aparat kepolisian juga tidak perlu terkesan ingin tampil semua ketika berhasil mengungkap kasus teroris.
Cukup satu orang yang tampil ke publik untuk menjadi sumber informasi atas setiap perkembangan kasus yang ditangani. Dengan demikian, kekuatan dan kebesaran Polri akan semakin terlihat.
Baca juga: Mantan Kepala Bais Sarankan Polri Ubah Pola Penyampaian Info soal Terorisme