JAKARTA, KOMPAS.com - Antisipasi terhadap potensi teror dinilai harus dilakukan secara menyeluruh. Pemerintah tak bisa hanya bergerak pasca-kasus teror terjadi, tetapi juga harus mencegah teror itu terjadi.
Wakil Presiden Ma'ruf Amin mengatakan, koordinasi antar kementerian dan lembaga harus terus ditingkatkan agar penanganan kasus terorisme dapat dilakukan dari hulu ke hilir.
Sebagai contoh, pentingnya peran Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam menyusun kurikulum yang dapat menekan penyebaran paham radikalisme tersebut. Bahkan, hal itu sudah harus dilakukan sejak masa pendidikan anak usia dini (PAUD).
"Penanganannya dilakukan secara komprehensif dari hulu sampe ke hilir," kata Ma'ruf di Istana Wapres, Jakarta, Jumat (15/11/2019).
Baca juga: Wapres Sebut Radikalisme Perlu Ditangani Sejak Usia Dini, Hulu ke Hilir
Di lain pihak, Kementerian Agama juga harus berperan aktif dalam membina para pemuka agama untuk tidak menebarkan narasi yang bermuatan radikal.
Sebaliknya, narasi-narasi positif mengenai gotong royong, kerukunan, moderasi dan toleransi antar umat beragama harus terus digaungkan di tengah masyarakat.
Para pemuka agama memiliki peran yang sentral dalam meredam aksi radikal yang dilakukan masyarakat.
"Jadi narasi-narasi ini narasi kerukunan yang kita bangun. Jadi kelompok mana saja, jangan narasi konflik. Itu yang menimbulkan terjadinya rasa permusuhan. Ini yang barangkali perlu kita ubah kepada semua pihak," ujar Ma'ruf.
Apalagi, mereka berada pada posisi paling fleksibel, yaitu dapat beradaptasi di berbagai kalangan dan lingkungan masyarakat.
Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD sebelumnya menyatakan, ada tiga tingkatan radikalisme yang berbentuk teror.
Pertama, mereka yang telah terpapar paham radikal menganggap orang lain musuh. Kedua, melakukan aksi teror seperti pengeboman. Ketiga, adu wacana tentang ideologi.
Untuk tingkatan ketiga, menurut mantan Ketua Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Yudi Latief, kaum terdidik justru paling rawan terkena paham radikal.
Hal itu sejurus dengan kajian yang dilakukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sejak 2012-2018 yang menunjukkan tren peningkatan sikap intoleransi terutama pada anak muda terdidik dengan rentang usia 15-35 tahun.
Baca juga: Kaum Terdidik di Perkotaan Rawan Terpapar Radikalisme
Menurut Yudi, kaum terdidik yang tinggal di perkotaan rawan terpapar paham radikal karena lebih mudah mengenal berbagai ideologi.
Salah satunya, eksklusifisme terhadap hal tertentu yang mendorong kecenderungan sikap intoleransi.
"Dalam hal ini kan yang paling rawan memang kaum terdidik di lingkungan perkotaan. Di mana-mana ideologi itu adalah makanan kaum terdidik sehingga sumber kerawanan memang ada di kaum terdidik," ujar Yudi dalam sebuah seminar di kawasan Sudirman, Jakarta Pusat, Jumat (15/11/2019).
Menurut Yudi, orang yang terdidik memiliki harapan mobilisasi secara vertikal.
Namun, ketika harapan tersebut pupus, entah itu akibat kondisi perekonomian yang landai, tidak tersedianya lapangan pekerjaan, hingga akses usaha yang terbatas, maka hal itu mendorong mereka menjadi frustasi.
Akibatnya, mereka lari ke kelompok militan yang dinilai dapat memberikan jaminan sosial yang lebih baik bagi mereka.
Supaya tidak menjadi bom waktu di kemudian hari, pemerintah perlu mengambil langkah strategis dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
"Jumlah angka angka kaum terdidik naik, sementara lapangan kerja minim, lalu akses usaha dikuasai sebagian orang saja sehingga saya rasa pemerintah perlu memikirkan juga bagaimana memperluas sektor-sektor riil dan mengembangkan mobilitas vertikal secara lebih inklusif," ucap Yudi.
"Sebab kita juga perlu memperbaiki keadilan sosial. Sekuat apa pun persatuan nasional kita, kalau keadilan sosial tidak merata dan kesenjangan sosial masih ada maka intoleransi akan makin menguat," kata dia.
Di lain pihak, aparat keamanan juga harus meningkatkan kewaspadaan mereka.
Kasus bom bunuh diri di Markas Polrestabes Medan misalnya, saat pelaku mengenakan jaket salah satu perusahaan ojek online (ojol) menunjukkan kemampuan pelaku teror dalam beradaptasi kian meningkat.
Menurut pengamat teroris dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Zaki Mubarak, pelaku telah berhasil memanfaatkan hal sederhana untuk melancarkan aksi teror.
Hal itu terbukti efektif untuk mengelabui siapa pun yang melihatnya tanpa ada rasa curiga.
Baca juga: Waspadai Kamuflase Teroris, dari Pura-pura Motor Hilang hingga Nyamar jadi Ojol
Pasalnya, siapa pun yang melihat orang mengenakan jaket ojek online, akan berpikiran bahwa orang tersebut hendak menjemput seseorang atau mengantar paket sesuatu kepada orang yang memesannya di suatu tempat.
"Saya memperkirakan, kamuflase ini akan semakin bervariasi sehingga makin sulit dideteksi oleh polisi," ujar dia.
Sumber: Kompas.com (Penulis: Dian Erika Nugraheny, Rakhmat Nur Hakim)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.