CIANJUR, KOMPAS.com - Hangat sinar matahari baru menerpa Mandalawangi di ketinggian 3.002 meter di atas permukaan laut.
Pagi itu, Jumat (15/11/2019), lembah datar yang berjarak 100 meter dari puncak Gunung Pangrango itu masih dikepung sepi. Hanya angin kencang yang terdengar menderu-deru.
Di satu pojok lembah itu tampak berkumpul 20 - 30 orang pendaki. Di antara rimbun bunga edelweis, mereka berdiri membentuk setengah lingkaran untuk bersiap menabur abu jenazah almarhum Aristides Katoppo.
"Tides bukan hanya menyaksikan bagaimana kita lahir, tapi dia juga memberi arah untuk kegiatan pencinta alam dan pendaki gunung di Indonesia. Terakhir kali dia berpesan, di 100 tahun HUT Kemerdekaan Indonesia nanti anak-anak muda Indonesia harus menanam banyak pohon. Merekalah yang akan menikmati itu setelah 25 tahun kemudian," kata Iwan Bungsu, anggota senior klub pendaki gunung Wanadri yang juga sahabat Tides.
Selesai mengucap beberapa kata sambutan itu, Iwan maju ke tengah lingkaran. Tangan kanannya lalu mengambil kain putih pembungkus abu jenazah Tides. Dengan tangan kanan, diambilnya abu jenazah sahabatnya itu.
Perlahan-lahan tangan Iwan terbuka. Tertiup angin Mandawangi, beterbanganlah abu jenazah Tides. Menebar ke permukaan tanah dan sekeliling bunga edelweis.
Di Lembah Mandalawangi, Pangrango, itulah abu jenazah Aristides Katoppo sudah tuntas ditaburkan oleh rekan-rekannya, yakni para pendaki dan pencinta alam Mapala UI, Wanadri, Yepe (Young Pioneers) dan Aranyacala Trisakti.
Aristides Katoppo atau akrab disapa Tides meninggal dunia di Rumah Sakit Abdi Waluyo, Jakarta Pusat, Minggu (29/9/2019) siang lalu. Menurut putra sulungnya, Judistira Katoppo, Tides memang sudah lama mengalami sakit jantung meski tak pernah terlihat seperti orang sakit.
Tides memang selalu berpembawaan energik dan bersemangat. Seminggu sebelum wafat, Tides bahkan ikut serta dalam kegiatan napak tilas 50 tahun meninggalnya Soe Hok Gie di Gunung Semeru, Jawa Timur.
Soe Hok Gie adalah sahabat kental Tides di Mapala Universitas Indonesia (Mapala UI). Mereka berdua termasuk yang ikut mendirikan pencinta alam itu.
Jura bilang, sebelum meninggal Tides memang sudah berwasiat padanya, jika wafat nanti jasadnya ingin dikremasi, dan abunya ditabur di gunung. Tak disebutkan gunung mana yang kelak akan jadi tempat abunya ditaburkan.
Namun, Jura berpikiran, abu jenazah ayahnya itu akan ditabur di kawasan Gunung Gede-Pangrango (Jawa Barat), kawasan yang paling dekat dan mudah dijangkau.
"Yang penting beliau kembali menyatu dengan alam," kata Jura.
Toh, memang, Pangrango adalah gunung paling akrab dengan Tides sejak muda usia. Di gunung itulah dia dan kawan-kawan akrabnya di Mapala UI kerap membuat kemah dan berkegiatan. Sebagai sesama aktivis '66, persahabatannya dengan Soe Hok Gie pun banyak bersemai di Lembah Mandalawangi, Pangrango, ini.
Sesuai wasiatnya, di Lembah Mandalawangi, Pangrango, itulah abu jenazahnya sudah tuntas ditaburkan oleh rekan-rekannya, yakni para pendaki dan pencinta alam Mapala UI, Wanadri, Yepe (Young Pioneers) dan Aranyacala Trisakti.
Kini, Tides sudah kembali menyatu dengan alam. Di Mandalawangi, Pangrango, yang dingin dan sepi seperti puisi yang dibuat Soe Hok Gie;
Malam itu ketika dingin dan kebisuan
Menyelimuti Mandalawangi
Kau datang kembali
Dan bicara padaku tentang kehampaan semua
“Hidup adalah soal keberanian,
Menghadapi yang tanda tanya
Tanpa kita bisa mengerti, tanpa kita bisa menawar
Terimalah, dan hadapilah..."
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.