Secara spesifik, Ahmad menyebut tren peningkatan kecenderungan sikap intoleransi pada anak muda kelas menengah yang tinggal di kota dan berasal dari kalangan berpendidikan tinggi.
Ahmad kemudian memberikan contoh kecenderungan dari sikap tersebut.
"Misalnya, penerimaan mereka kepada praktik agama orang lain. Contohnya saat individu beragama A ditanya jika ada individu dari agama lain beribadah di dekat tempat tinggalnya, dia menyatakan menolak, " ungkap Ahmad.
Sikap yang sama juga ditemukan pada individu agama B ketika mengetahui ada orang beragama lain ingin beribadah di lingkungan tempat tinggalnya.
"Dan itu kecenderungan sikap intoleransi (yang terkait agama dan beribadah) meningkat dari tahun ke tahun," tutur Ahmad.
Sementara itu, pada konteks pergaulan, sikap yang cenderung intoleransi pun meningkat.
"Yang paling dasar yakni bagaimana dia bergaul, misalnya di lingkungan kerja ada keinginan untuk bergaul dengan yang seagama, sesuku, dan sebagainya," kata Ahmad.
Ia kemudian mengaitkan temuan ini dengan pembelajaran di sekolah dan universitas. Menurut dia, ada beberapa faktor pendorong meningkatnya sikap yang cenderung intoleran.
Baca juga: Menpan RB Akui Sulit Identifikasi PNS Terpapar Radikalisme
Pertama, pendidikan agama di sekolah masih menonjolkan narasi eksklusifisme.
"Kurikulum di sekolah yang mengajarkan untuk menghargai agama yang berbeda semakin hari semakin berkurang. Juga, kurikulum yang lebih menekankan persoalan akademik saja, " jelas Ahmad.
Kedua, di tingkat perguruan tinggi, ada organisasi mahasiswa yang sifatnya eksklusif. Organisasi seperti ini mempengaruhi perkembangan sikap intoleran karena enggan bergaul dengan organisasi lain.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.