JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Antonius Benny Susetyo, meminta materi mengenai keberagaman masyarakat Indonesia secara khusus dimasukkan dalam kurikulum pendidikan.
Dengan demikian, materi ini secara kontinu bisa diajarkan di sekolah.
Menurut pria yang akrab disapa Romo Beny ini, materi tersebut bisa diajarkan bersama dengan materi pendidikan karakter.
"Ke depan kita harapkan adalah bagaimana Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) yang baru ini memberi muatan pendidikan karakter Pancasila itu lebih kepada praktik-praktik kehidupan, yaitu bagaimana menjaga keberagamaan, kemajemukan," ujar Romo Benny dalam seminar di kawasan Sudirman, Jakarta Pusat, Jumat (15/11/2019).
Baca juga: Komnas HAM: Kecenderungan Sikap Intoleransi Menguat di Kalangan Anak Muda Terdidik
Secara teknis, Romo Benny menyarankan siswa-siswi diajak berjumpa dengan teman-teman dari beragam daerah, suku, keyakinan dan sebagainya.
Dengan demikian, sejak dini siswa diajarkan untuk memahami kondisi masyarakat Indonesia yang beragam.
Materi seperti ini menurut dia lebih efektif jika dibanding hanya mengajarkan keberagaman lewat narasi materi pelajaran.
"Ke depan (diharapkan) pelajaran seperti itu bukan doktrin, tetapi bagaimana anak mengalami perjumpaan dengan teman yang berbeda keyakinan dan melakukan refleksi terhadap perjumpaan itu," ucap dia.
"Sehingga ada internalisasi nilai bahwa keragaman sudah menjadi kebiasaan orang-orang indoensia sejak awal," kata Romo Benny.
Lebih lanjut, Romo Benny mengingatkan bahwa persoalan sikap intoleransi merupakan masalah bersama.
Dengan demikian, semua elemen masyarakat punya tanggung jawab untuk mengatasi persoalan ini.
"Lewat pendidikan, kita bisa menanamkan nilai toleransi sejak dini supaya siswa-siswi bisa menikmati keragaman, kemajukan, perbedaan itu, menjadi bagian kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia sejak dulu," ucap Romo Benny.
Sebelumnya, Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas-HAM) Ahmad Taufan Damanik menyampaikan, ada kecenderungan sikap intoleransi yang semakin menguat di kalangan anak muda terdidik.
Baca juga: Pasal Agama dalam RUU KUHP Berpotensi Melegitimasi Diskriminasi dan Intoleransi
Temuan ini berdasarkan hasil kajian Komnas-HAM pada 2012-2018.
Ahmad menyebut, indeks kecenderungan sikap intoleransi semakin menguat hingga mencapai lebih dari 50 persen.
"Sekarang kecendrungan sikap intoleransi ini sudah di atas 50 persen, dari yang tadinya baru 20-an persen. Ada kondisi yang meningkat terus sejak 2012 hingga 2018," ujar Ahmad Jumat.
Data ini, kata Ahmad, merupakan hasil kompilasi dari kajian Komnas-HAM, laporan yang masuk ke Komnas-HAM, penelitian media, serta penelitian dari sejumlah lembaga pemerhati kasus HAM dan kebebasan beragama.
Kecenderungan intoleransi yang menguat tersebut terjadi pada anak muda di rentang usia 15-35 tahun.
Secara spesifik, Ahmad menyebut tren peningkatan kecenderungan sikap intoleransi pada anak muda kelas menengah yang tinggal di kota dan berasal dari kalangan berpendidikan tinggi.
Ahmad kemudian memberikan contoh kecenderungan dari sikap tersebut.
"Misalnya, penerimaan mereka kepada praktik agama orang lain. Contohnya saat individu beragama A ditanya jika ada individu dari agama lain beribadah di dekat tempat tinggalnya, dia menyatakan menolak," ujar dia.
Sikap yang sama juga ditemukan pada individu agama B ketika mengetahui ada orang beragama lain ingin beribadah di lingkungan tempat tinggalnya.
"Dan itu kecenderungan sikap intoleransi (yang terkait agama dan beribadah) meningkat dari tahun ke tahun, " tutur Ahmad.
Baca juga: Ketum PSI Sebut Ancaman Terbesar Indonesia adalah Intoleransi
Sementara itu, pada konteks pergaulan, sikap intoleransi pun cenderung meningkat.
"Yang paling dasar yakni bagaimana dia bergaul, misalnya di lingkungan kerja ada keinginan untuk bergaul dengan yang seagama, sesuku, dan sebagainya, " kata Ahmad.
Ia kemudian mengaitkan temuan ini dengan pembelajaran di sekolah dan universitas.
Menurut dia, ada beberapa faktor pendorong meningkatnya sikap yang cenderung intoleran.
Pertama, pendidikan agama di sekolah masih menonjolkan narasi eksklusifisme.
"Kurikulum di sekolah yang mengajarkan untuk menghargai agama yang berbeda semakin hari semakin berkurang. Juga, kurikulum yang lebih menekankan persoalan akademik saja, " ucap Ahmad.
Kedua, di tingkat perguruan tinggi, ada organisasi mahasiswa yang sifatnya eksklusif.
Organisasi seperti ini mempengaruhi perkembangan sikap intoleran karena enggan bergaul dengan organisasi lain.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.