Meski begitu, Airlangga Hartarto melempar sinyal bahwa pemilihan ketua umum Golkar yang baru dapat dilakukan secara aklamasi.
Menurut Airlangga, mekanisme aklamasi pun bagian dari demokrasi.
"Aklamasi itu bagian dari demokrasi juga," kata Airlangga.
Airlangga mengatakan, pemilihan ketua umum melalui aklamasi tidak sekali terjadi di internal Golkar.
Baca juga: Munas Golkar, Pujian Jokowi Menguatkan Posisi Airlangga Hartarto
Sebelumnya, Aburizal Bakrie juga terpilih sebagai ketua umum melalui aklamasi. Airlangga pun pada 2017 terpilih sebagai ketua umum secara aklamasi menggantikan Setya Novanto yang terjerat kasus korupsi.
Meski demikian, Airlangga menyerahkan mekanisme pemilihan ketua umum kepada partai.
"Ya itu dipulangkan kepada seluruh pemegang suara," ujarnya.
3. Memecah Partai
Di sisi lain, Bambang Soesatyo menyebut, pemilihan ketua umum partai secara aklamasi berpotensi memecah belah partai.
Dalam tubuh Golkar, mekanisme aklamasi ini terbukti pernah membagi partai menjadi dua kubu.
"Tapi yang pasti kita punya pengalaman pahit, pemaksaan aklamasi itu membuat kita pecah dan kita pernah pecah ada (kubu) Ancol dan (kubu) Bali. (Kubu) Bali itu kan pemaksaan aklamasi yang melahirkan (kubu) Ancol," kata Bambang.
Baca juga: Sesuai Arahan Jokowi, Bamsoet Pastikan Munas Golkar Berjalan Aman dan Lancar
Bambang mengatakan, sejarah tersebut seharusnya menjadi renungan bagi internal Golkar, dan tidak kembali diulangi.
"Pelajaran pahit ini harus jadi renungan bagi kita semua bahwa demokrasi yang ada di Golkar jangan dibunuh, biarkan dia berkembang," ujar dia.
Bambang menambahkan, jika seorang calon ketua umum yakin punya basis suara yang besar, seharusnya, ia tidak punya ketakutan sehingga harus merancang mekanisme aklamasi.
"Kalau yakin didukung mayoritas pemilik suara, kenapa mesti takut kemudian merancang untuk aklamasi. Pasti demokrasi dan menang itu akan tercapai melalui pertarungan di munas (musyawarah nasional)," katanya.