JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Komisi Yudisial (KY) Jaja Ahmad Jayus mendorong adanya revisi Undang-Undang tentang Komisi Yudisial.
Jaja mengatakan telah mengungkapkan keinginan itu kepada pemerintah dan DPR.
Pekan lalu, Jaja bertemu Wakil Presiden Ma'ruf Amin untuk menyampaikan perihal revisi ini.
"Ya kita akan ajukan (revisi), kita akan dorong," ujar Jaja kepada wartawan di Gedung KY, Kramat, Jakarta Pusat, Kamis (14/11/2019).
Baca juga: Komisi Yudisial: 13 Calon Hakim Agung Lolos Tahap Seleksi Kepribadian dan Kesehatan
Kemudian, rencana ini juga sudah dikomunikasikan dengan Komisi III DPR. Ketua Komisi III DPR Azis Syamsuddin mempersilakan niat tersebut untuk dimasukkan ke dalam Prolegnas.
Adapun alasan pengajuan revisi ini adalah untuk menguatkan posisi KY.
"Ya kalau bisa kewenangan KY diperkuat, misalnya, terkait rekomendasi atas usul penjatuhan sanksi (sanksi pelanggaran etik hakim) mempunyai kekuatan mengikat final and binding. Bahkan, bila memungkinkan bisa dimuat dalam UUD 1945, atau setidaknya ya dalam UU-nya," kata Jaja.
Baca juga: KY Serahkan Nama Kandidat Hakim Agung ke DPR pada 25 November
Sebab, selama ini, kata dia, rekomendasi KY mengenai pelanggaran etik hakim yang disampaikan kepada Mahkamah Agung (MA) banyak yang tidak dihiraukan.
"Ya tentu supaya semakin eksis Komisi Yudisial itu karena betapa pentingnya nilai etik. Nilai etik itu sangat penting dan utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Intinya bahwa kewenangan dari KY itu bersifat final," kata Jaja.
Undang-Undang Komisi Yudisial yang pertama berlaku ialah UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
Kemudian undang-undang ini direvisi sehingga saat ini berlaku UU Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.