JAKARTA, KOMPAS.com - Kasus dugaan suap terkait perdagangan minyak mentah dan produk kilang di Pertamina Energy Service Pte Ltd (PES), menjadi kasus kedua yang mendapat perhatian Presiden Joko Widodo untuk segera diselesaikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Menurut Wakil Ketua KPK Laode M Syarif, penanganan kasus ini sudah naik ke tahap penyidikan.
KPK pun telah menetapkan seorang tersangka, yaitu Managing Director PES periode 2009-2013 Bambang Irianto.
Laode menyatakan, salah satu kesulitan penanganan kasus ini lantaran membutuhkan penelusuran bukti lintas negara, sehingga memerlukan kerja sama internasional yang kuat.
Negara-negara tersebut meliputi Thailand, Uni Emirat Arab, Singapura dan British Virgin Island. Ia pun menyayangkan hanya dua negara yang bersedia membantu penanganan perkara ini.
"Kesulitan lain karena kasus ini melibatkan sejumlah ‘perusahaan cangkang’ di beberapa negara 'save haven', seperti British Virgin Island," kata Laode dalam keterangan tertulis, Selasa (12/11/2019).
Baca juga: KPK Respons Mahfud MD soal Kasus Korupsi Besar yang Tak Terungkap
Pernyataan Laode menanggapi pernyataan Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam) Mahfud MD yang menyebutkan bahwa Presiden Jokowi pernah menyampaikan laporan kepada KPK, namun kasusnya tak kunjung diungkap.
Kasus ini mulai diselidiki KPK sejak Juni 2014. Namun, KPK baru berhasil menetapakan Bambang sebagai tersangka pada September 2019.
Bambang diduga menerima uang sedikitnya 2,9 juta dollar AS atau setara Rp 40,75 miliar karena membantu pihak swasta terkait bisnis migas di lingkungan PES.
"Kami telah mengonfirmasi sejumlah temuan dugaan praktik mafia minyak dan gas. Bahkan, dalam perkara ini ditemukan bagaimana alur suap dilakukan lintas negara dan menggunakan perusahaan cangkang di yurisdiksi asing yang masuk dalam kategori tax haven countries," kata Laode saat mengumumkan penetapan Bambang sebagai tersangka di Jakarta pada 10 September lalu.
Uang yang diterima Bambang diduga mengalir melalui rekening perusahaan Siam Group Holding Ltd pada periode 2010 hingga 2013.
Baca juga: BW Menduga Ada yang Ingin Hambat KPK dalam Bongkar Korupsi Migas
Uang itu diduga merupakan sebagai bentuk imbalan karena telah membantuk Kernel Oil Pte Ltd terkait dengan kegiatan perdagangan produk kilang dan minyak mentah kepada PES di Singapura dan pengiriman kargo.
Siam merupakan perusahaan yang didirikan Bambang yang berada di British Virgin Island.
Perusahaan ini dibuat untuk menampung penerimaan uang dari Kernel Oil, karena ia telah membantu mengamankan jatah alokasi kargo Kernel Oil dalam tender pengadaan atau penjualan minyak mentah atau produk kilang.
"Sebagai imbalannya, diduga BTO (Bambang) menerima sejumlah uang yang diterima melalui rekening bank di luar negeri. Ini juga menjadi salah satu kendala kami karena melibatkan otoritas lintas negara," kata Laode.
Sementara Kernel Oil merupakan salah satu rekanan PES. Saat Bambang masih menjabat sebagai Vice President Marketing, PES melakukan pengadaan dan penjualan minyak mentah serta produk kilang untuk kebutuhan PT Pertamina (Persero) yang dapat diikuti oleh national oil company (NOC), major oil company, refinery, maupun trader.
Dilansir dari Kompas.id, pada periode 2009 hingga Juni 2012, perwakilan Kernel Oil beberapa kali diundang dan menjadi rekanan PES. Terutama dalam kegiatan impor dan ekspor minyak mentah untuk kepentingan PES.
Tahun 2015, Presiden Jokowi menyatakan perang terhadap praktik mafia migas. Dampak perang ini adalah pembubaran Pertamina Energy Trading Ltd (Petral) yang berada di Hong Kong.
Baca juga: Blok Terminasi dan Upaya Menjaga Aset Migas Nasional
Pembubaran dilakukan karena pemerintah meyakini terjadi praktik mafia migas dalam perdagangan minyak yang dilakukan anak usaha Pertamina, termasuk Petral dan PES.
Bambang sendiri diketahui merupakan direktur utama perusahaan tersebut sebelum diganti tahun 2015.
Secara paralel upaya memerangi mafia migas itu didukung KPK dengan melakukan penelusuran lebih jauh. Dalam kasus ini ditemukan bahwa kegiatan sesungguhnya dilakukan oleh PES, sementara Petral diposisikan seperti “paper company”.
KPK pun fokus mengungkap penyimpangan yang terjadi di PES tersebut.
Jauh sebelumnya, Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono pada 2012 telah meminta Pertamina meningkatkan efisiensi dalam perdagangan minyak mentah dan BBM dengan mengutamakan pembelian langsung ke sumber-sumber utama.
Seharusnya, PES mengacu pada pedoman yang dibuat dalam setiap kegiatan yang dilakukan.
Dalam pedoman itu disebutkan, penjual atau pembeli yang akan mengikuti competitive bidding atau negosiasi langsung mengacu pada aturan yang ditetapkan Pertamina dengan urutan prioritas yakni NOC, refiner/producer, dan potential seller/buyer.
Perusahaan yang dapat menjadi rekanan PES adalah perusahaan-perusahaan yang masuk dalam Daftar Mitra Usaha Terseleksi (DMUT). Namun, pada kenyataannya tidak semua perusahaan yang terdaftar diundang mengikuti tender.
"Tersangka BTO bersama sejumlah pejabat PES menentukan rekanan yang akan diundang mengikuti tender. Salah satu NOC yang sering diundang untuk mengikuti tender dan akhirnya menjadi pihak yang mengirimkan kargo untuk PES, yaitu Emirates National Oil Company (ENOC)," ujar Laode.
Diduga, perusahaan ENOC diundang sebagai kamuflase agar seolah-olah PES bekerja sama dengan NOC guna memenuhi syarat pengadaan. Padahal, minyaknya berasal dari Kernel Oil.
Bambang diduga mengarahkan untuk tetap mengundang NOC tersebut meskipun mengetahui bahwa NOC bukanlah pihak yang mengirim kargo ke PES.
Sumber: Kompas.com dan Kompas.id (Penulis: Dian Erika Nugraheny dan Sharon Patricia)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.