JAKARTA, KOMPAS.com - Sekretaris Jenderal Pimpinan Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) Kholid Syeirazi meminta Presiden Joko Widodo mempertimbangkan wacana mengubah istilah radikalisme menjadi manipulator agama.
Ia menyarankan, pemerintah seharusnya fokus memotong akar radikalisme ketimbang berkonsentrasi ke mengubah istilah yang justru hanya akan menuai polemik.
"Saya kira (Jokowi) jangan eksesif. Bahwa soal radikalisme itu ancaman nyata, iya. Saya tidak menganggap itu rekaan, pelakunya berdarah berdaging," ujar Kholid usai menghadiri Forum Grup Diskusi (FGD) di gedung Tribrata Jakarta, Senin (11/11/2019).
"Tapi daripada menimbulkan polemik, (pengubahan istilah radikalisme) tidak perlu. Sebaiknya Presiden dan pemerintah lebih ke memotong akar radikalisme," sambung dia.
Baca juga: Cegah Radikalisme, Kemenag Tulis Ulang Buku Pelajaran Agama di Sekolah
Kholid menjelaskan bahwa radikalisme erat kaitannya dengan ideologi kematian. Ideologi ini bisa tumbuh subur karena kehidupan sosial dan ekonomi yang semakin tidak terjamin.
Misalnya, adanya ketimpangan sosial, rendahnya faktor pendidikan, pengangguran, hingga kesehatan yang tidak terjangkau.
Dalam keadaan itu, kata dia, radikalisasi terhadap masyarakat tersebut akan dengan mudah masuk.
Alasannya, masyarakat tersebut akan mengambil alternatif dengan menyelami akan ideologi kematian.
Dengan situasi tersebut, pemerintah harus hadir untuk memotong laju pegangguran, kemiskinan, hingga ketimpangan.
Baca juga: Wapres Maruf Amin: Radikalisme Itu Bukan soal Pakaian, tetapi...
Menurut Kholid, dengan adanya jaminan tersebut memang tidak langsung menggerus akar radikalisme secara menyeluruh. Namun, itu bisa mengurangi orang dengan cara pola pikir tersebut.
"Jadi jangan gebyah-uyah (menyamaratakan). Kalau mau menangani itu harus mengajak, berembuk banyak orang. Anatominya diperjelas, siapa sih orang-orang yang dianggap mengancam negara dan kehidupan sosial, itu harus dilokalisir," lanjut dia.
Diberitakan, Presiden Jokowi ingin agar istilah radikalisme diganti menjadi manipulator agama.
Hal itu disampaikan Jokowi saat membuka rapat terbatas di Kantor Presiden, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (31/10/2019).
Dalam rapat itu, Jokowi awalnya bicara terkait meredam aksi demonstrasi, reformasi hukum, hingga masalah industri pertahanan.
Baca juga: Cegah Radikalisme, Ketua MPR Dorong Pemerintah Masukkan Kurikulum Pancasila
Saat ingin menutup sambutannya, ia lalu memberi satu arahan lagi yang berkaitan dengan radikalisme.
"Terakhir, saya lupa tadi, harus ada upaya yang serius untuk mencegah meluasnya, dengan apa yang sekarang ini banyak disebut yaitu mengenai radikalisme," kata Jokowi.
Jokowi lalu mengusulkan agar ada istilah lain untuk menyebut orang-orang yang dianggap radikal.
"Atau mungkin, enggak tau, apakah ada istilah lain yang bisa kita gunakan, misalnya manipulator agama," kata dia.
"Saya serahkan kepada Pak Menko Polhukam untuk mengkoordinasikan masalah ini," sambung dia.