JAKARTA, KOMPAS.com - Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menyetujui wacana evaluasi pelaksanaan pilkada langsung.
Anggota Bawaslu Rahmat Bagja mengatakan, evaluasi pilkada langsung setidaknya menyasar persoalan mahalnya biaya politik yang menyebabkan potensi maraknya politik uang.
"Kami setuju jika ada evaluasi. Evaluasi setidaknya menyasar hal tersebut (ongkos politik)," ujar Bagja ketika dikonfirmasi Kompas.com, Senin (11/11/2019).
Baca juga: Pro Kontra Pilkada Langsung dan Pertanda Kemunduran Demokrasi...
Bawaslu siap apabila diajak duduk bersama membahas evaluasi pilkada langsung bersama pemerintah, DPR, dan KPU.
"Kami siap memberikan masukan, " kata dia.
Namun, saat disinggung tentang kemungkinan mengubah sistem pilkada langsung menjadi tidak langsung, Bagja menegaskan, belum ada sikap resmi dari Bawaslu.
"Kalau ini (soal mengubah sistem pilkada), belum ada perbincangan di antara kami mengenai hal tersebut," ungkap dia.
"Ada pandangan bahwa biaya tinggi pilkada berkorelasi dengan korupsi. Indikatornya dengan (maraknya) kasus korupsi kepala daerah," ujar Viryan.
Baca juga: Airin Setuju Jika Pilkada Langsung Dievaluasi
KPU pun sepakat apabila persoalan ini dievaluasi dengan berorientasi pada penyempurnaan sistem pilkada langsung.
"Tinggal kemauan kita menyelesaikan masalah politik biaya tinggi dalam pilkada, misalnya dengan melibatkan KPK dan PPATK untuk meminimalisasi potensi pilkada biaya tinggi yang tidak sehat selama proses pilkada," tegas Viryan.
Dalam pernyataan sebelumnya, Viryan mengakui ada berbagai persoalan dalam sistem pilkada serentak yang langsung.
Akan tetapi, hal tersebut bukan lantas jadi alasan untuk mengembalikan pemilihan kepala daerah menjadi tidak langsung.
"Masalah dalam pilkada langsung memang ada, namun bukan lantas kembali ke pilkada tak langsung," ujar Viryan ketika dikonfirmasi, Jumat (8/11/2019).
Baca juga: Politisi PKS Nilai Pilkada Langsung Perkuat Posisi Kepala Daerah
Dia menilai, sistem pilkada secara langsung dan serentak harus terus disempurnakan. Viryan mencontohkan menyempurnakan sistem pilkada selayaknya mengembangkan sistem informasi.
"Seperti kita mengembangkan sistem informasi atau android dan iOs selalu ada perbaikan dengan versi terbaru sebagai penyempurnaan," tegas dia.
Komisioner KPU lainnya, Wahyu Setiawan menambahkan, dirinya tetap berpandangan bahwa pelaksanaan pilkada harus melibatkan masyarakat.
"KPU berpandangan pemilu atau pilkada dilaksanakan secara efisien, tata kelolanya transparan dan akuntabel, serta melibatkan partisipasi masyarakat," ujar Wahyu ketika dikonfirmasi, Jumat.
Senada dengan KPU dan Bawaslu, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) juga mendesak pemerintah memfokuskan pokok masalah dalam penyelenggaraan Pilkada langsung
Salah satunya praktik mahar politik yang menghabiskan ongkos tinggi.
Peneliti Perludem Fadli Ramadhanil menilai, dugaan tingginya angka mahar politik dalam setiap kontestasi pilkada selalu jadi masalah yang belum terselesaikan.
Salah satu penyebabnya adalah kelemahan dari sistem penegakan hukum dalam larangan praktik mahar politik.
Baca juga: PAN Terbuka untuk Evaluasi Mekanisme Pilkada Langsung
Dia menuturkan, bakal calon kepala daerah pun kebanyakan mengungkap praktik mahar politik ini setelah yang bersangkutan gagal menjadi calon kepala daerah.
"Pada titik ini, eveluasi pilkada langsung harusnya fokus kepada masalah mahar politik," tegas Fadli dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Sabtu (9/11/2019).
Buruknya elite politik hingga sistem rekrutmen kepala daerah dalam suatu partai, lanjut dia, jangan sampai menyingkirkan hak konstitusional warga negara.
Ia menegaskan, pemberangusan hak konstitusional dalam sebuah pesta demokrasi merupakan langkah tak produktif.
Karena itu, ia pun meminta pemerintah bisa berkonsentrasi dalam menangkal praktik mahar politik.
Misalnya, membuat tranparansi dan akuntabilitas sumbangan setiap orang kepada partai dalam pelaksanaan pilkada.
Baca juga: Soal Wacana Evaluasi Pilkada Langsung, Ini Komentar Anies
"Artinya, uang yang diberikan kepada partai, harus dicatatkan dan dilaporkan secara terbuka. Nominalnya mesti mengikuti batasan sumbangan kepada partai politik sebagaimana diatur di dalam UU Partai Politik," kata Fadli.
"Dengan begitu, seorang bakal calon tidak boleh memberikan uang dengan nominal begitu besar dan tidak dicatatkan dan dilaporkan," lanjut dia.
Mendagri Tito Karnavian mempertanyakan apakah pilkada langsung masih relevan saat ini.
Hal itu dikatakan Tito saat ditanya persiapan pilkada oleh wartawan, usai rapat kerja dengan Komisi II DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, (6/11/2019).
"Tapi, kalau dari saya sendiri justru pertanyaan saya adalah apakah sistem poltik pemilu Pilkada ini masih relevan setelah 20 tahun," kata Tito sebagaimana dikutip dari Tribunnews.
Sebagai mantan Kapolri, ia tidak heran apabila banyak kepala daerah yang terjerat kasus tindak pidana korupsi.
Baca juga: Evaluasi Pilkada Langsung, Perludem Minta Fokus Masalah Mahar Politik
Hal itu karena besarnya ongkos politik yang dikeluarkan pasangan calon karena sistem pilkada langsung.
"Banyak manfaatnya yakni partisipasi demokrasi, tapi kita lihat mudaratnya juga ada, politik biaya tinggi. Kepala daerah kalau enggak punya Rp 30 miliar mau jadi bupati, mana berani dia," kata dia.
Tito berpandangan bahwa mudarat pilkada langsung tidak bisa dikesampingkan. Oleh karena itu, ia menganjurkan adanya riset atau kajian dampak atau manfaat dari pilkada langsung.