JAKARTA, KOMPAS.com - Hakim tunggal praperadilan Elfian menerima berkas kesimpulan praperadilan yang diajukan mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi.
Selain Imam Nahrawi, praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan ini juga menerima kesimpulan yang disampaikan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai pihak termohon.
Berkas kesimpulan diterima hakim tunggal Elfian tanpa dibacakan oleh Pemohon dan Termohon.
Adapun, tebal berkas kesimpulan permohonan praperadilan Imam Nahrawi sebanyak 51 halaman. Sedangkan, berkas kesimpulan KPK sebanyak 40 halaman.
Baca juga: Praperadilan Imam Nahrawi, KPK Serahkan 42 Bukti
Setelah agenda kesimpulan, Pengadilan Negeri Jakarta akan kembali melanjutkan sidang dengan agenda keputusan pada Selasa (12/11/2019).
"Sesuai hukum acara, tujuh hari (persidangan) harus sudah diputus. Sidang putusan hari Selasa (12 November 2019), insya allah, perkiraan (waktu) sekitar pukul 10.00," ujar Elfian di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat (8/11/2019).
Sementara itu, kuasa hukum Imam, Saleh menegaskan, kesimpulan permohonan ini menyebutkan bahwa kasus tersebut sangat dipaksakan.
Menurut dia, hal itu terlihat dari tidak kuatnya alat bukti dalam proses penyelidikan.
"Kemarin ada yang menyatakan 157 bukti dalam jawaban. Begitu pembuktian hanya ada 42 bukti.
"Di ranah penyelidikan yang katanya ada bukti permulaan, ternyata hanya ada tujuh berita acara permintaan keterangan. Jadi berita acara permintaan keterangan itu, apakah kemudian bisa dianggap dua alat bukti? Tidak," kata dia.
Baca juga: Praperadilan Imam Nahrawi, Saksi Ahli Sebut Nominal Dugaan Korupsi Bisa Berubah
Selain itu, Saleh menilai bahwa pernyataan KPK dalam agenda jawaban menegaskan kasus tersebut dipaksakan.
Hal itu terlihat dari jawaban KPK yang menggunakan istilah "representasi" untuk penetapan tersangka Imam Nahrawi.
Sebab, KPK disebut menyebut asisten pribadi Imam Nahrawi, yaitu Miftahul Ulum, sebagai representasi mantan Menpora itu.
Adapun peran Ulum dalam kasus ini adalah sebagai "jembatan" untuk menyerahkan uang kepada Imam.
Saleh menyebutkan bahwa istilah "representasi" adalah bahasa baru dalam hukum pidana.
Hal itu diperkuat dengan keterangan ahli. Baik ahli pemohon maupun termohon saat agenda saksi ahli.
"Dua ahli pun juga sudah tak terbantahkan bahasa representasi itu tidak ada," kata dia.
Sebelumnya, Imam tersandung dugaan kasus suap pengurusan proposal dana hibah KONI kepada Kemenpora pada tahun anggaran 2018 sebesar Rp 14,7 miliar.
Imam diduga menerima suap melalui staf pribadinya Miftahul Ulum selama rentang waktu 2014-2018.
Selain itu, dalam rentang waktu 2016-2018 Imam juga diduga meminta uang senilai Rp 11,8 miliar.
Total penerimaan Rp 26,5 miliar tersebut diduga merupakan commitment fee atas pengurusan proposal hibah yang diajukan KONI.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.