Namun, ia mengatakan, bahwa mekanisme pembuktian kasus HAM berat tunduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Dengan demikian, keterangan seorang saksi tidak dapat dijadikan alat bukti kecuali adanya alat bukti lain seperti keterangan ahli forensik, hasil uji balistik dan dokumen terkait lainnya.
"Pembuktian peristiwa pelanggaran HAM berat tunduk pada KUHAP. Keterangan seorang saksi tidak dapat dijadikan alat bukti, kecuali didukung alat bukti lain. Misalnya ahli forensik, uji balistik, dokumen terkait dan sebagainya," kata Burhanuddin.
Baca juga: Jokowi Dinilai Kurang Berkomitmen atas Penyelesaian Kasus HAM
Adapun, terdapat 12 kasus pelanggaran HAM berat yang belum dituntaskan. Sebanyak 8 kasus terjadi sebelum terbitnya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Kedelapan kasus itu, yakni Peristiwa 1965, peristiwa Penembakan Misterius (Petrus), Peristiwa Trisaksi, Semanggi I dan Semanggi II tahun 1998, peristiwa Penculikan dan Penghilangan Orang Secara Paksa, Peristiwa Talangsari, Peristiwa Simpang KKA, Oeristiwa Rumah Gedong tahun 1989, Peristiwa dukun santet, ninja dan orang gila di Banyuwangi tahun 1998.
Sedangkan empat kasus lainnya yang terjadi sebelum terbitnya UU Pengadilan HAM, yakni peristiwa Wasior, Wamena dan Paniai di Papua serta peristiwa Jambo Keupok di Aceh.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.