JAKARTA, KOMPAS.com - Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Mohammad Choirul Anam mengusulkan agar Jaksa Agung Sanitiar (ST) Burhanuddin membentuk tim penyidik independen demi menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat pada masa lalu.
"Jalan keluar yang bisa dilakukan oleh Jaksa Agung adalah membuat tim penyidik independen yang melibatkan tokoh HAM yang mengerti aturan-aturan HAM, baik nasional maupun internasional, serta praktik yang terjadi di berbagai mekanisme di dunia," kata Anam melalui keterangan tertulis, Kamis (7/11/2019).
Menurut dia, langkah itu diperbolehkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Baca juga: Jaksa Agung Usulkan Perubahan Regulasi Penyelesaian Kasus HAM Berat
Dalam Pasal 21 Ayat (3) UU tersebut, Jaksa Agung memang diperbolehkan mengangkat penyidik ad hoc yang terdiri dari unsur pemerintah dan/atau masyarakat.
Menurut Anam, hal itu dibutuhkan untuk meningkatkan kepercayaan publik serta mempertanggungjawabkan hasil kerja tim.
"Pentingnya membentuk tim penyidik independen dengan melibatkan tokoh HAM agar tingkat kepercayaan publik terbangun, dan kerja-kerja tim tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara hukum," ujar dia.
Anam menanggapi pernyataan Jaksa Agung ST Burhanuddin dalam Rapat Kerja dengan Komisi III di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis.
Berkaca pada pernyataan Jaksa Agung, Anam menilai Presiden Joko Widodo tak berkomitmen tinggi dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat.
"Presiden Jokowi berkomitmen rendah dalam penyelesaian pelanggaran HAM yang berat, hal ini ditunjukkan dengan pernyataan Jaksa Agung yang baru saja dipilih oleh presiden," ucap dia.
Sebelumnya diberitakan, Burhanuddin menuturkan bahwa syarat formil dan materil berkas penyelidikan kasus pelanggaran berat HAM oleh Komnas HAM belum lengkap.
Hal ini membuat pihak Kejaksaan Agung tidak dapat melanjutkan tahap penyidikan dan penuntutan.
"Sebanyak 12 perkara hasil penyelidikan Komnas HAM telah dipelajari dan diteliti, hasilnya baik persyaratan formil, materiil, belum memenuhi secara lengkap," ujar Burhanuddin dalam Rapat Kerja dengan Komisi III di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis.
Namun, Burhanuddin tidak menyebutkan secara spesifik syarat formil dan materil apa saja yang belum dilengkapi oleh Komnas HAM.
Saat ini, ada 12 kasus pelanggaran HAM berat yang belum dituntaskan.
Baca juga: Jaksa Agung Ungkap Hambatan Penuntasan Kasus Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu
Sebanyak 8 kasus terjadi sebelum terbitnya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Kedelapan kasus tersebut adalah Peristiwa 1965, peristiwa Penembakan Misterius (Petrus), Peristiwa Trisaksi, Semanggi I dan Semanggi II tahun 1998, peristiwa Penculikan dan Penghilangan Orang Secara Paksa.
Kemudian, Peristiwa Talangsari, Peristiwa Simpang KKA, Oeristiwa Rumah Gedong tahun 1989, Peristiwa dukun santet, ninja dan orang gila di Banyuwangi tahun 1998.
Sementara itu, empat kasus lainnya yang terjadi sebelum terbitnya UU Pengadilan HAM yakni peristiwa Wasior, Wamena dan Paniai di Papua serta peristiwa Jambo Keupok di Aceh.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.