Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Polemik Dana Desa yang Melahirkan Desa Fiktif...

Kompas.com - 07/11/2019, 15:45 WIB
Dani Prabowo,
Bayu Galih

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Setiap tahun, pemerintah mengalokasikan triliunan rupiah dana desa di dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Jumlah tersebut terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah desa yang menerima bantuan.

Tahun depan misalnya, dana desa yang akan dialokasikan pemerintah sebesar Rp 72 triliun. Jumlah itu naik Rp 2 triliun bila dibandingkan alokasi pada tahun ini.

Presiden Joko Widodo mengungkapkan, peningkatan dana desa dilakukan sebagai upaya untuk pemberdayaan masyarakat desa dan pengembangan potensi ekonomi desa.

Sehingga, diharapkan dapat mempercepat peningkatan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat desa.

"Di samping itu, dana desa diharapkan dapat mendorong inovasi dan entrepreneur baru, sehingga produk-produk lokal yang dimiliki oleh setiap desa dapat dipasarkan secara nasional, bahkan global melalui marketplace," ucap Jokowi saat menyampaikan pidato nota keuangan di Kompleks Parlemen, 16 Agustus lalu.

Ironisnya, harapan peningkatan kesejahteraan itu pupus. Maraknya kabar keberadaan desa fiktif di sejumlah wilayah Tanah Air menjadi indikasi bahwa dana desa yang selama ini dikucurkan pemerintah pusat hanya sekedar menjadi bancakan untuk dibagi-bagi oleh oknum tidak bertanggung jawab di daerah.

Baca juga: Naskah Lengkap Pidato Jokowi tentang RAPBN 2020 dan Nota Keuangan

Desa fiktif

Temuan desa fiktif tersebut salah satunya berada di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara. Kepolisian daerah setempat memperoleh informasi adanya 56 desa yang terindikasi fiktif.

Tim khusus pun telah diterjunkan untuk melakukan pengecekan fisik di 23 desa yang tidak terdata di Kementerian Dalam Negeri maupun Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara.

Kepala Subdit Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi Polda Sultra, Kompol Dolfi Kumaseh mengatakan, dari 23 desa yang telah dicek, dua desa di antaranya diketahui tidak memiliki penduduk sama sekali.

Namun, Dolfi masih merahasiakan identitas desa tersebut lantaran masih dalam proses penyelidikan.

"Penyidik sudah periksa saksi dari Kemendagri, kemudian ahli pidana dan ahli adiministrasi negara. Telah dilakukan pemeriksaan fisik kegiatan dana desa bersama ahli lembaga pengembangan jasa konstruksi," ujar Dolfi, di ruang kerjanya, Kamis (7/11/2019).

Di lain pihak, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) siap turun tangan untuk membantu Polda Sulawesi Tenggara menangani kasus yang terindikasi ada dugaan tindak pidana korupsi ini.

"Salah satu bentuk dukungan KPK adalah memfasilitasi keterangan para ahli pidana dan kemudian dilanjutkan gelar perkara bersama 16 September 2019," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah dalam keterangan tertulis, Rabu (6/11/2019).

Baca juga: Polda Sultra Temukan 2 Desa Fiktif di Konawe

Dalam kasus ini, KPK mengindikasi adanya 34 desa yang bermasalah. Tiga desa fiktif, sedangkan 31 lainnya ada tapi surat keputusan pembentukannya dibuat dengan tanggal mundur.

Sementara, ketika desa tersebut dibentuk sedang berlaku kebijakan moratorium dari Kemendagri. Sehingga untuk bisa mendapatkan dana desa harus dibuat tanggal pembentukan backdate.

Perkara ini kemudian telah naik ke tahap penyidikan dan membutuhkan keterangan ahli pidana.

"Akan dilakukan pengambilan keterangan ahli hukum pidana untuk menyatakan proses pembentukan desa yang berdasarkan peraturan daerah yang dibuat dengan tanggal mundur (backdate), merupakan bagian dari tindak pidana dan dapat dipertanggungjawabkan atau tidak," ucap Febri.

Baca juga: KPK Bantu Polda Sultra Tangani Kasus Pembentukan Desa Fiktif

Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani menilai, desa fiktif mulai bermunculan setelah pemerintah secara rutin mengucurkan dana desa setiap tahun.

Momentum inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh oknum tidak bertanggung jawab untuk untuk membentuk desa baru.

"Kami mendengar beberapa masukan karena adanya transfer ajeg dari APBN maka sekarang muncul desa-desa baru yang bahkan tidak ada penduduknya. Hanya untuk bisa mendapatkan (dana desa)," ujar Sri Mulyani saat rapat kerja evaluasi kinerja 2019 dan rencana kerja 2020 bersama dengan Komisi XI DPR RI. Senin (4/11/2019).

Hingga September 2019, penyaluran dana desa baru mencapai Rp 44 triliun atau 62,9 persen dari total alokasi Rp 70 triliun pada tahun ini. Serapan ini turun bila dibandingkan periode sebelumnya yang mencapai 63,2 perse atau sekitar Rp 37,9 triliun.

Baca juga: Sri Mulyani: Ada Dana Desa, Banyak Desa Baru Tak Berpenduduk

Verifikasi lemah

Pihak Istana Kepresidenan bukannya tutup mata dan telinga melihat realita ini. Jokowi bahkan menegaskan, akan mengejar oknum pelaku yang sengaja memanfaatkan kucuran dana desa untuk kepentingan pribadi.

"Kami kejar agar yang namanya desa-desa tadi diperkirakan, diduga, itu fiktif, ketemu, ketangkep," kata Jokowi usai membuka acara Konstruksi Indonesia 2019 di JIExpo Kemayoran, Jakarta, Rabu (6/11/2019).

Menurut Jokowi, ada oknum yang dengan sengaja menciptakan desa fiktif. Oknum tersebut memanfaatkan celah pengelolaan yang tidak mudah dilakukan pemerintah, mengingat luasnya wilayah sebaran yang ada yaitu dari Sabang hingga Merauke.

Hingga kini, tercatat ada sekitar 78.400 desa yang tersebar di seluruh wilayah Tanah Air.

"Manajemen pengelolaan desa sebanyak itu tidak mudah. Tetapi, kalau informasi benar ada desa siluman itu, misalnya dipakai plangnya saja, tapi desanya enggak, bisa saja terjadi," ucapnya.

Baca juga: Soal Kasus Desa Fiktif, Jokowi: Kejar sampai Tertangkap

Di lain pihak, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng menilai, munculnya kasus desa fiktif menjadi indikasi bahwa proses verifikasi di lapangan masih lemah.

Sedianya, setiap desa memiliki kode wilayah ayng terdaftar di Kementerian Dalam Negeri. Desa yang ingin mendapatkan bantuan dari pemerintah pusat, harus mengajukan usulan melalui pemerintah kabupaten/kota sebelum ke Kementerian Keuangan.

Adapun besaran alokasi bantuan untuk setiap wilayah tidak sama. Tergantung dari letak geografis, jumlah penduduk, hingga tingkat kemiskinan.

"Saat masuk ke Kemenkeu, ketika memasukkan desa itu dalam variabel perhitungan kan tidak asal angkut begitu saja. Dia harus koordinasi dengan Kemendagri yang punya kode wilayah, bahkan juga Kementerian Desa," kata Robert saat dihubungi, Rabu (6/11/2019).

"(Dengan kasus ini), berarti dari kabupaten/kota langsung ke Kemenkeu dipakai tanpa ada koordinasi kiri-kanan dengan dua kementerian lain," imbuh dia.

Baca juga: Masalah Desa Fiktif, Pemerintah Dinilai Lemah Memverifikasi Dana Desa

Sementara itu, Wakil Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Budi Arie Setiadi mengatakan, alokasi dana desa yang cukup besar memerlukan pengawalan maksimal dari seluruh elemen masyarakat.

Masyarakat, ia menambahkan, tidak bolah hanya sekedar menjadi penonton ketika dana desa ini mulai dimanfaatkan. Justru, masyarakat lah yang harus berperan aktif bila ada dugaan penyelewengan dana tersebut.

"Kalau ada masalah, kita akan langsung cari dan temukan solusi untuk mengatasinya. Rakyat jangan jadi penonton pembangunan. Pengawasan dana desa terbaik adalah lewat peran aktif masyarakat," ucapnya.

Sumber: Kompas.com (Penulis: Kiki Andi Pati, Ihsanuddin, Deti Mega Purnamasari, Mutia Fauzia)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 22 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 22 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
TNI Tembak 2 Anggota OPM yang Serang Pos Prajurit di Paro Nduga, tapi Berhasil Melarikan Diri

TNI Tembak 2 Anggota OPM yang Serang Pos Prajurit di Paro Nduga, tapi Berhasil Melarikan Diri

Nasional
Sebut Jaksa TI Tak Punya Mercy, KPK: Foto di Rumah Tetangga

Sebut Jaksa TI Tak Punya Mercy, KPK: Foto di Rumah Tetangga

Nasional
Kasus Korupsi Timah, Kejagung Dalami Kepemilikan Jet Pribadi Harvey Moeis

Kasus Korupsi Timah, Kejagung Dalami Kepemilikan Jet Pribadi Harvey Moeis

Nasional
Prabowo Minta Pendukung Tak Gelar Aksi saat MK Bacakan Putusan Sengketa Pilpres 2024

Prabowo Minta Pendukung Tak Gelar Aksi saat MK Bacakan Putusan Sengketa Pilpres 2024

Nasional
Demokrat Sampaikan Kriteria Kadernya yang Bakal Masuk Kabinet Mendatang

Demokrat Sampaikan Kriteria Kadernya yang Bakal Masuk Kabinet Mendatang

Nasional
Antam Fokus Eksplorasi 3 Komoditas, Pengeluaran Preliminary Unaudited  Capai Rp 17,43 Miliar

Antam Fokus Eksplorasi 3 Komoditas, Pengeluaran Preliminary Unaudited Capai Rp 17,43 Miliar

Nasional
KPK Akan Panggil Kembali Gus Muhdlor sebagai Tersangka Pekan Depan

KPK Akan Panggil Kembali Gus Muhdlor sebagai Tersangka Pekan Depan

Nasional
Gibran Dikabarkan Ada di Jakarta Hari Ini, TKN: Agenda Pribadi

Gibran Dikabarkan Ada di Jakarta Hari Ini, TKN: Agenda Pribadi

Nasional
Unjuk Rasa di Patung Kuda Diwarnai Lempar Batu, TKN Minta Pendukung Patuhi Imbauan Prabowo

Unjuk Rasa di Patung Kuda Diwarnai Lempar Batu, TKN Minta Pendukung Patuhi Imbauan Prabowo

Nasional
Pemerintahan Baru Indonesia dan Harapan Perdamaian Rusia-Ukraina

Pemerintahan Baru Indonesia dan Harapan Perdamaian Rusia-Ukraina

Nasional
Prabowo Terima Kunjungan Eks PM Inggris Tony Blair di Kemenhan, Ini yang Dibahas

Prabowo Terima Kunjungan Eks PM Inggris Tony Blair di Kemenhan, Ini yang Dibahas

Nasional
KPK Sebut Surat Sakit Gus Muhdlor Ganjil: Agak Lain Suratnya, Sembuhnya Kapan Kita Enggak Tahu

KPK Sebut Surat Sakit Gus Muhdlor Ganjil: Agak Lain Suratnya, Sembuhnya Kapan Kita Enggak Tahu

Nasional
Panglima AL Malaysia Datang ke Indonesia, Akan Ikut Memperingati 3 Tahun KRI Nanggala

Panglima AL Malaysia Datang ke Indonesia, Akan Ikut Memperingati 3 Tahun KRI Nanggala

Nasional
Beralasan Sakit, Gus Muhdlor Tak Penuhi Panggilan KPK

Beralasan Sakit, Gus Muhdlor Tak Penuhi Panggilan KPK

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com