JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Lokataru Foundation, Muhammad Elfiansyah Alaydrus, mendesak BPJS Kesehatan memberikan sanksi yang tegas kepada puluhan ribu perusahaan yang tidak tertib dalam pembayaran maupun administrasi iuran.
"Harus ada tindakan tegas dari BPJS Kesehatan. Kan sebenarnya sudah ada di peraturan yang tahun 2013 (terkait sanksi)," ujar Elfiansyah di Kantor Lokataru Foundation, Rawamangun, Jakarta Timur, Rabu (6/11/2019).
Elfiansyah menyebutkan, ketentuan sanksi yang dimaksud adalah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 86 Tahun 2013.
Sanksi yang diberikan berupa sanksi administratif, tidak bisa mengakses pelayanan umum, hingga pencabutan sejumlah izin.
Baca juga: Puluhan Ribu Badan Usaha Disebut Tak Tertib Bayar Iuran BPJS
Sebab, sejak beroperasi pada 2014 hingga saat ini BPJS Kesehatan dinilai tidak menerapkan ketentuan sanksi secara maksimal.
"Buktinya temuan BPKP terbaru ini masih ada ribuan badan usaha yang tidak mendaftarkan pekerjanya ke BPJS Kesehatan. Lalu selama ini selama lima tahun berjalan kenapa tidak ditindak?" ujar Elfiansyah.
Sebelumnya, Elfiansyah, mengatakan masih ada puluhan ribu badan usaha yang tidak tertib membayarkan iuran BPJS Kesehatan.
Data ini berdasarkan audit Badan Pengawasan Keuanga dan Pembangunan pada September 2019.
"Kami menemukan 50. 475 badan usaha yg tidak tertib dalam membayar Iuran BPJS Kesehatan. Kemudian, masih ada 2.348 badan usaha yang tidak melaporkan gajinya dengan benar," ujar Elfiansyah.
Baca juga: Per Oktober 2019, Utang Jatuh Tempo BPJS Kesehatan Rp 21,16 Triliun
Kemudian, dari segi data kepesertaan, BPKP menemukan 27,7 juta NIK peserta BPJS Kesehatan yang tidak valid. Angka ini, lanjut Elfiansyah, ditemukan pada segmen kepesertaan BPJS Kesejahteraan untuk Penerima Bantuan Iuran (PBI).
Dia menuturkan, berdasarkan penelusuran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), satu juta NIK dari jumlah keseluruhan NIK yang bermasalah itu menyumbang potensi kerugian negara sebesar Rp 25 miliar.
"Negara berpotensi rugi Rp 25 miliar, sehingga artinya harus ada perbaikan terhadap NIK yang bermasalah tadi, " ujar Elfiansyah.
Selain kedua persoalan di atas, Lokataru Foundation juga menemukan sebanyak 528.120 pekerja yang belum didaftarkan Iuran BPJS Kesehatan. Jumlah ini berasal dari 8.314 badan usaha.
Merujuk kepada temuan data-data ini, Lokataru Foundation menilai data kepesertaan BPJS Kesehatan kacau balau.
Elfiansyah menyebut bahwa BPJS Kesehatan harus melakukan evaluasi atas audit BPK ini sebelum membebani masyarakat dengan kenaikan besaran iuran.
"Kami menilai kebijakan kenaikan iuran BPJS Kesehatan tidak patut dikeluarkan pemerintah. BPJS Kesehatan sebagai operator jaminan kesehatan nasional belum profesional dan maksimal mengelola program ini. Kebijakan ini tidak etis dan membebani masyarakat," ucap Elfiansyah.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) resmi menaikkan iuran BPJS Kesehatan sebesar 100 persen pada Kamis (24/10/2019).
Kenaikan iuran itu berlaku bagi Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) dan peserta bukan pekerja.
Adapun aturan tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
"Untuk meningkatkan kualitas dan kesinambungan program jaminan kesehatan perlu dilakukan penyesuaian beberapa ketentuan dalam Peraturan presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan," ujar Jokowi dalam Perpres Nomor 75 Tahun 2019.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.