JAKARTA, KOMPAS.com - Pengamat intelijen dan keamanan Stanislaus Riyanta mengatakan, pemerintah sebaiknya menggunakan istilah anti-Pancasila untuk menggantikan istilah radikalisme.
Sebab, dia menilai bahwa istilah radikalisme yang digunakan pemerintah saat ini seolah-olah mengarahkan untuk membatasi pada simbol-simbol tertentu saja.
"Saya lebih setuju dengan istilah anti-Pancasila. Sebab beberapa pekan tetakhir ini perdebatan publik hanya menyoal hal-hal yang bersifat simbolik. Tentu ini harus dihindari, " ujar Stanislaus dalam diskusi kawasan Setiabudi, Jakarta Selatan, Selasa (5/11/2019).
DIa khawatir pendekatan simbolik dalam mencegah radikalisme di Indonesia justru akan bersifat kontraproduktif.
Baca juga: Dedi Mulyadi: Lawan Radikalisme, Pemerintah Harus Gunakan Falsafah Tradisional
Pendekatan simbolik itu bahkan juga dilakukan dengan memberi label terhadap cara berpakaian.
"Stigma radikal tidak bisa disematkan hanya karena simbol-simbol seperti gaya pakaian atau atribut yang digunakan. Jika hanya berdasarkan demikian, justru akan berbenturan dengan nilai dan norma tertentu," kata Stanislaus
Padahal, kata dia, paham radikal bisa diketahui jika sudah ada tindakan atau ungkapan pemikiran dari seseorang atau kelompok.
Karena itu, pemerintah sebaiknya menggunakan pendekatan dialog untuk mengantisipasi radikalisme.
Baca juga: PKS Minta Menag Tak Terjebak Simbol dalam Atasi Radikalisme
Dialog bisa dilakukan oleh tokoh-tokoh agama atau tokoh masyarakat yang bisa diterima oleh semua pihak.
Selain itu, pemerintah melalui Kementrian Agama dan lembaga atau kementrian lain harus merangkul tokoh-tokoh agama dan masyarakat.
"Hal ini perlu dilakukan agar tokoh agama dan masyarakat luas mempunyai pemikiran dan konsep yang sama untuk melawan radikalisme, " ucap Stanislaus.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.