Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menjatuhkan vonis bebas terhadap mantan Dirut PLN, Sofyan Basir, dalam kasus dugaan korupsi PLTU Riau-1, Senin (4/11/2019).
Majelis hakim yang diketuai Haryono dalam putusannya menyatakan unsur membantu kejahatan yang didakwakan jaksa KPK terhadap Sofyan tidak terbukti.
Sofyan didakwa membantu tindakan suap dari pengusaha Johannes Budisutrisno Kotjo kepada mantan anggota DPR, Eni Saragih, dan mantan politisi Golkar, Idrus Marham.
Terhadap vonis bebas tersebut, KPK berencana mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA).
Ini merupakan kali ketiga KPK menelan pil pahit di pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor). Pada 2011, mantan Wali Kota Bekasi, Mochtar Muhammad, divonis bebas oleh Pengadilan Tipikor Bandung.
Mochtar didakwa atas empat kasus korupsi, di antaranya menyuap anggota DPRD untuk memuluskan APBD 2010.
Upaya kasasi ditempuh KPK terhadap vonis bebas Mochtar. Pada 2012, MA menganulir putusan Pengadilan Tipikor Bandung dan menyatakan Mochtar terbukti bersalah.
Ia pun dipidana penjara enam tahun dan denda Rp 300 juta subsider enam bulan kurungan.
Pada 2017, KPK kembali menelan pil pahit.
Pengadilan Tipikor Pekanbaru memvonis bebas mantan Bupati Rokan Hulu, Riau, Supratman, yang dijerat KPK dalam kasus suap pengesahan APBD 2014 dan 2015.
KPK kembali melakukan upaya kasasi dan dimenangkan oleh MA. Majelis kasasi MA menyatakan Supratman bersalah dan dijatuhi hukuman penjara enam tahun.
Hak politiknya pun dicabut untuk masa lima tahun.
Meskipun bukan yang pertama dan secara statistik tidak mempengaruhi conviction rate KPK yang nyaris 100 persen, kegagalan KPK dalam membuktikan dakwaan terhadap Sofya Basir di Pengadilan Tipikor Jakarta tetap mengundang tanya dan bahkan kekhawatiran.
KPK dan juga Indonesia Corrupton Watch (ICW) sebelumnya telah meyakini bahwa bukti-bukti keterlibatan Sofyan yang dibawa ke persidangan telah solid.
Menurut peneliti ICW Kurnia Ramadhana, nama Sofyan kerap disebutkan dalam beberapa persidangan dengan terdakwa yang berbeda.